Pekanbaru—Kamis, 2 Februari 2017 – Sudah 34 tahun konflik antara nelayan (tradisional) rawai di Bengkalis dengan pengusaha penangkap ikan dengan alat jaring batu terjadi. Konflik ini telah memakan korban jiwa dan korban luka, baik secara fisik dan psikis. Nelayan yang dengan arif melakukan aktivitas penangkapan ikan secara tradisional seolah dibiarkan berjuang sendiri menyelamatkan sumber nafkah hidup sekaligus ekosistem laut yang dirusak oleh aktivitas jaring batu (bottom gill net). sepanjang 34 tahun ini melakukan aktivitas pemenuhan sumber kehidupan berdasarkan kearifan lokal.
Terkait dengan hal tersebut Walhi Riau bersama nelayan tradisional yang tergabung di dalam Solidaritas Nelayan Kabupaten Bengkalis (SNKB) dengan tegas menuntut negara untuk hadir melindungi dan memenuhi hak dasar nelayan tradisonal untuk melanjutkan kehidupan dan aktivitas melautnya dengan aman. “Konflik ini harus segera dihentikan. Satu-satunya cara mengehentikannya adalah negara harus hadir dan menyelesaikan konflik yang ada. Keberpihakan terhadap nelayan rawai yang tergabung dalam SNKB merupakan keharusan, karena nelayan rawai berjuang melawan jaring batu, bukan sekedar persoalan ekonomi atau wilayah tangkap, namun sekaligus melanjutkan kearifan lokal dan menyelamatkan keberlanjutan ekosistem laut,” ujar Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif WALHI Riau.
Pengoperasian jaring batu yang masuk dalam kategori alat tangkap bottom gill net sebenarnya sudah berlangsung di perairan Bengkalis sejak tahun 1983. Beroperasinya jaring batu berdampak pada rusaknya ekosistem lingkungan hidup pesisir dan hilangnya pendapatan nelayan tradisional. “Pada 2006 nelayan tradisional konflik telah mengakibatkan, sedikitnya 5 orang nelayan meninggal dunia dan puluhan warga luka-luka. Lamban dan lemahnya perhatian pemerintah dalam pengawasan serta penegakan hukum menurut kami merupakan faktor utama konlfik terjadi sudah lebih dari 30 tahun,” ujar Abu Samah, Ketua SNKB.
Hingga saat ini, aktivitas tangkap jaring batu masih terus berlangsung dengan sebaran wilayah tangkap yang semakin meluas yakni diseluruh wilayah perairan kabupaten Bengkalis. Nelayan tradisonal yang berada di Kecamatan Bantan, Kecamatan Bengkalis, Kecamatan Bukit Batu, Kecamatan Siak Kecil, Kecamatan Rupat, Kecamatan Rupat Utara. Hal ini mengakibatkan nelayan tradisional sering tidak mendapatkan hasil tangkapan ikan. Selain itu berlarutnya konflik menyebabkan hilangnya kenyamanan serta keamanan nelayan tradisional untuk mencari nafkah. “Sering kami pulang melaut dengan tangan hampa, jumlah ikan kurau, malung semakin susah didapat. Bahkan karena ikan semakin susah didapat, banyak nelayan yang menganggur, bahkan tak sedikit dari kami yang harus beralih profesi,” sebut Abu Samah.
Aturan pengoperasian Jaring batu di Propinsi Riau sebenanrya telah diatur dalam Peraturan Gubernur No. 17 Tahun 2006 tentang Penghentian Sementara Penggunaan Alat Tangkap Ikan Jenis Jaring Batu (Bottom Gill Net)/Jaring Dasar di Wilayah Perairan Tanjung Jati sampai dengan Tanjung Sekodi di Kabupaten Bengkalis. dan Keputusan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Riau No : 523.41/KL/SK-27 Tahun 2003 tentang Penertiban dan Pengawasan Jaring Kurau/Jaring Batu (Bottom Gill Net) Di wilayah Provinsi Riau. aturan ini pada pokoknya menyebutkan bahwa jaring batu tidak boleh melakukan aktivitas tangkap ikan di zona laut 0-12 mil. Parahnya lagi, dalam penegakan hukum, larangan-larangan dari berbagai pearturan ini tidak pernah digunakan sebagai dasar penyelesaian konflik bahkan dianggap tidak dapat dijadikan dasar hukum oleh Pemerintah maupun penegak hukum. “Karena itu, Walhi Riau dan SNKB menilai tidak ada niat baik dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi lebih dari 30 tahun ini dan telah terjadi tindakan pembiaran yang dilakukan oleh Gubernur Riau, DKP Propinsi Riau, Bupati Bengkalis, DKP Kabupaten Bengkalis serta aparat penegak Hukum,” tegas Riko.
Parahnya lagi, pelanggaran aktivitas jaring batu malah difasilitasi oleh Negara dengan memberikan permodalan bagi keberadaan dan pengoperasian kapal-kapal jaring batu/dasar tersebut. “Seharusnya, Negara bisa membedakan siapa yang layak diberikan bantuan dan dilindungi, jaring batu sudah melanggar ketentuan Negara, malah diberi bantuan. Ntah maksudnya memfasilitasi jaring batu supaya kami tak bisa melaut, entahlah. Tapi kami tetap berharap Pemerintah yang sekarang bisa melindungi dan memenuhi hak kami,” ucap Abu Samah.
Guna menggesakan penyelesaian konflik ini, WALHI Riau dan SNKB secara tegas menyampaikan tuntutan, yaitu:
- Mendesak Menteri Kelautan Dan Perikanan, Gubernur Riau, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Prov Riau, Bupati Kab bengkalis dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kab Bengkalis, Kepolisian dari tingkat Polda, Polres dan Polsek melakukan pengawasan terhadap kapal tangkap jaring batu;
- Mendesak Bupati Bengkalis untuk melakukan audit dan review seluruh perizinan kapal tangkap jaring batu di Kab. Bengkalis.
- tegas terhadap penegakan hukum sesuai pergub no 17 tahun 2006 tentang penghentian sementara penggunaan alat penangkapan ikan jenis jaring batu (buttom gilnet) di wilayah perainan tj sekodi sampai dengan tanjung jati kab Bengkalis prov riau, SK kepala dinas dinas perikanan dan kelautan Prov Riau no 523.41/KL/SK-27 tahun 2003 tentang pengawasan dan penertiban jaring kurau/ jaring batu di wil Prov Riau.
“Terkait dengan tuntutan ini, hari ini, WALHI Riau dan SNKB juga akan mengirimkan surat secara langsung kepada Menteri Kelautan dan Perikanan dan ditembuskan kepada instansi terkait lainnya terkait dengan tuntutan kami. Dalam surat kami sebenarnya akan dimasukkan beberapa poin tambahan lainnya, namun tiga tuntutan ini merupakan tuntutan utama yang harus segera dipenuhi. Apabila dalam waktu 14 hari kerja tidak ada respon positif dari Kementerian dan instansi lainnya, kami akan mengunakan langkah hukum yang tegas dan jelas,” tutup Riko.