bertempat diruang rapat Komisi B DPRD Riau beberapa perwakilan Solidaritas Nelayan Kabupaten Bengkalis menemui Komisi B DPRD Riau untuk menyampaikan konflik yang sudah berlarut larut antara nelayan rawai dan nelayan jaring batu sejak 1980 hingga hari ini. Pertemuan dihadiri oleh ketua komisi B, Marwan Yohanes beserta anggota guna mendengar fakta lapangan yang sedang dialami oleh nelayan Kabupaten Bengkalis. Nelayan rawai mengungkapkan bahwa penggunaan jaring batu yang dilakukan sangat merusak ekosistem laut dan tidak berkelanjutan karena penggunaan jarring batu turut merusak terumbu karang yang merupakan rumah bagi berbagai spesies ikan.
Firdaus, anggota Komisi B mengatakan bahwa pada 28 Januari 2017 Kementrian Kelautan dan Perikanan turun ke Kabupaten Bengkalis dan merekomendasikan bahwa jarring batu adalah alat tangkap yang diperbolehkan. “Penyelesaian konflik ini harus segera dicarikan jalan tengah salah satunya dengan menjadikan status wilayah tersebut menjadi status quo dan dijadikan konservasi alam sehingga semua alat tangkap tidak boleh” imbuh Firdaus. Selaras dengan pernyataan anggotanya, Marwan Yohanes mengatakan bahwa seluruh pihak harus mengacu kepada aturan hukum yang berlaku dan tidak mentolerir terhadap pelaku yang melanggar aturan hukum. “Apapun yang dibicarakan hari ini akan menjadi rekomendasi yang diserahkan kepada pansus untuk pembuatan peraturan daerah yang sedang membahas tentang izin usaha perikanan” tambah Ketua Komisi B DPRD Riau.
Bambang perwakilan dari WALHI Riau sekaligus pendamping SNKB menyatakan bahwa memang benar dari segi hasil tangkapan lebih banyak jaring batu namun penggunaan jarring batu sendiri sangat merusak ekosistem dan tidak berkelanjutan. “konservasi sah sah saja asal tidak menutup akses. Sebab apa yang dilakukan nelayan rawai sejak dahulu juga sudah termasuk konservasi karena pengelolaan yang berkelanjutan, tidak merusak lingkungan dan mengedepankan kearifan lokal” ujar Bambang menanggapi pilihan solusi anggota Komisi B DPRD.
Abu Shamah selaku ketua SNKB berharap dalam pertemuan ini DPRD Riau khususnya Komisi B dapat menyelesaikan konflik yang terjadi. “besar harapan kami agar pemangku kebijakan di provinsi Riau dapat memberikan penyelesaian kasus yang terjadi. Penggunaan jaring batu benar benar merugikan kami, sebab dari zaman dahulu kami menggantungkan hidup sebagai nelayan namun dengan kehadiran nelayan jaring batu yang merusak ekosistem bagaimana keberlanjutan hidup kami.” Ujar Abu Kasim. Ia juga meminta penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku yang menggunakan jaring batu.
Selaras dengan harapan ketua SNKB, Direktur LBH Pekanbaru Aditia Bagus Santoso menyatakan bahwa perlu adanya pengetahuan hukum terkait kasus ini, “seharusnya penggunaan jaring batu dilarang karena jelas dalam undang-undang perikanan menyatakan bahwa alat tangkap yang menyebabkan kerusakan lingkungan dilarang digunakan.” Ia juga mendorong dilakukannya kajian ilmiah untuk membuktikan bahwa jaring batu memang merusak lingkungan “dalam hal ini LBH Pekanbaru dan WALHI Riau siap membantu stake holder terkait untuk melakukan penelitian yang membuktikan kerusakan lingkungan akibat penggunaan jaring batu. Dengan begitu, tidak perlu lagi adanya pengaturan zona tangkap bagi penggunaan jaring batu sebab penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan secara jelas dilarang oleh undang-undang” tutup Aditia.
Cp: 0852 7275 7426 (Abu Shamah, Ketua SNKB)