Beranda Uncategorized Our Nature Is Not For Sale, Melawan Komodifikasi dan Finansialisasi Sumber Daya...

Our Nature Is Not For Sale, Melawan Komodifikasi dan Finansialisasi Sumber Daya Alam di G-20 dan RIO+20

213
0

Jakarta, 19 Juni 2012. Bulan Juni 2012, dua pertemuan internasional yang menentukan arah ekonomi dan lingkungan hidup akan dilaksanakan. Pertemuan tersebut akan berdampak pada keseluruhan umat manusia dan masa depan bumi. Pertemuan yang akan dilaksanakan berdekatan tersebut adalah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20 dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. KTT Rio+20 dilaksanakan di Brazil pada tanggal 20-21 Juni 2012, sedangkan KTT G20 dilaksanakan di Meksiko pada tanggal 18-19 Juni 2012 tepat sebelum KTT Rio+20. Terdapat agenda penting yang akan didorong yaitu ekonomi hijau (green economy) yang akan di dorong di KTT Rio+20 dan pertumbuhan hijau (green growth) yang menjadi agenda KTT G20.   Sebelumnya, dalam pertemuan Bisnis G20 di Korea Selatan pada tahun 2010, sebanyak 120 korporasi dari berbagai negara mengeluarkan resolusi kepada pimpinan negara anggota G20 antara lain untuk; Mendorong pasar karbon berbasis harga pasar. Memperkuat kemitraan internasional antara pemerintah-swasta. mempromosikan perdagangan bebas barang dan jasa lingkungan dengan menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Kali ini Meksiko sebagai penyelenggara pertemuan G20 juga menjadikan agenda pertumbuhan ekonomi hijau (green growth) menjadi salah satu agenda penting.   Sedangkan di RIO+20, Green Economy dan sustainable growth digadang-gadang sebagai sebuah jawaban atas kerusakan lingkungan yang terjadi. Komponen utama dari KTT Bumi 2012 adalah deklarasi “The Future We Want” untuk ditandatangani oleh para pemimpin dunia. Ekonomi hijau adalah agenda utama yang akan diadopsi menjadi peta jalan pembangunan berkelanjutan kedepan. Kedua pertemuan tersebut menggaris bawahi satu hal, bahwa ekonomi hijau harus menjadi landasan pembangunan dunia.

Namun untuk melihat agenda tersembunyi dari ekonomi hijau dapat dilacak dari dokumen yang dikeluarkan  oleh UNEP tahun 2011 yang berjudul “toward a green economy” dokumen setebal 635 halaman Ini menjelaskan bagaimana nilai moneter perlu diterapkan untuk elemen yang tersisa dari alam dan sebuah industri baru “jasa lingkungan” sebagai bisnis yang menguntungkan di pasar keuangan. “Jasa lingkungan” akan dijual dengan harga tertentu dan tunduk pada mekanisme pasar yang akan menentukan akses dan alokasi. Dengan cara berpikir seperti ini tentu hanya mereka yang memiliki modal, korporasi dan lembaga keuangan internasional dapat dengan mudah mengontrol akses dan alokasi. Agenda ‘ekonomi hijau’ di Rio +20 ini aktif dipromosikan oleh aliansi lembaga-lembaga penopang kapitalisme termasuk diantaranya Forum Ekonomi Dunia, Bank Dunia, dan International Chamber of Commerce. Ekonomi hijau adalah upaya kapitalisme memperbarui diri dan mengeruk keuntungan dari krisis finansial dan krisis lingkungan yang terjadi akibat ulah mereka sendiri.   Sayangnya kehadiran Indonesia dalam pertemuan G-20 dan RIO+20 justru menjadi legitimasi kebijakan di tingkat nasional yang mengarah pada finansialisasi sumber daya alam. Di G-20 pemerintah mendorong pembiayaan infrastruktur sebagai agenda penting, hal ini terkait dengan program MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang merupakan upaya instan rejim SBY menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan menggelar karpet merah menyambut investasi asing.   Di pertemuan Rio+20, Karbon biru menjadi sebagai salah satu proposal Pemerintah. Karbon biru merupakan skema perdagangan  karbon dan kompensasi (offset) melalui  media  laut dalam  mengatasi  perubahan  iklim. Karbon biru menggeser mitigasi ke mekanisme pasar yang menguntungkan korporasi serta negara-negara industri yang  justru paling bertanggung  jawab  terhadap  pemanasan  global  dan  perubahan iklim.     Di sektor kehutanan, model pembangunan yang berlandaskan pada komodifikasi hutan telah memperlihatkan rentetan panjang konflik tenurial apalagi dengan pemberian ijin 13 perusahaan tambang besar internasional menambang di hutan lindung,  empat Taman Nasional (TN), yakni TN. Batang Gadis, TN. Lolobata, TN. Nani Wartabone, TN. Lai Wanggi-Wanggameti beralih fungsi untuk pertambangan. REDD+ yang digadang-gadang pemerintah menjadi solusi pembalakan hutan dan mitigasi perubahan iklim justru merampas hak masyarakat lokal dan menguntungkan korporasi lewat pasar karbon.   Di sektor pertanian, Green Economy mendorong apa yang disebut efisiensi sektor pertanian melalui perluasan ke arah industrialisasi pertanian skala luas, privatisasi air dan pengembangan benih atau tanaman transgenic yang tahan perubahan iklim, banjir dan kekeringan. Model ini melanggengkan praktek pertanian ala revolusi hijau yang telah terbukti gagal untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan sekaligus merusak lingkungan.  

Green Economy yang dibangun dalam sistem ekonomi kapitalis tidak akan menjawab permasalahan lingkungan dan ekonomi yang dihadapi Indonesia dan dunia saat ini. Hal ini justru akan membuat barang publik seperti air, tanah, dan udara menjadi barang privat yang bernilai ekonomi, dan berpotensi menyingkirkan jutaan manusia yang selama ini menggantungkan hidupnya dari alam. Jasa layanan alam dan sumberdaya hayati yang selama ini tersedia secara bebas menjadi barang ekonomi bernilai tinggi yang bisa dipastikan hanya menguntungkan segelintir orang, korporasi dan lembaga keuangan internasional.   Oleh karena itu kami dari gerakan sosial di Indonesia menegaskan penolakan kami terhadap agenda ekonomi hijau yang di dorong oleh pertemuan G-20 dan RIO+20 yang hanya akan menguntungkan korporasi dan lembaga keuangan internasional. Kami menegaskan dukungan terhadap sikap gerakan sosial asia untuk menentang green economy dan melawan komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam. Kami mendorong pembangunan alternatif yang menjamin keselarasan daya dukung alam menuju keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Kami menuntut:

1.       Menyelenggarakan kegiatan perekonomian nasional sesuai dengan cita-cita proklamasi 1945 serta amanat pasal 33 Undang Undang Dasar 1945. Sistem ekonomi nasional harus menegakkan kedaulatan rakyat dan mendorong hubungan ekonomi yang adil, saling menguntungkan dan berdasarkan pada solidaritas dan penghormatan atas alam dan manusia yang hidup di dalamnya.

2.       Menentang segala bentuk privatisasi, komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam yang merampas sumber-sumber kehidupan rakyat. Green economy akan memperparah proses perampasan sumber daya alam, tanah, air, udara, dan keanekaragaman hayati.

3.       Menghentikan proses perampasan lahan dan mencabut segala kebijakan yang mendukung proses ini. Pemerintah harus menjamin akses yang adil terhadap sumberdaya alam khususnya bagi masyarakat lokal.

4.       Produksi pertanian harus bergeser dari model industri, monokultur dengan penggunaan input kimia intensif ke praktek agroekologi. Agroekologi akan menghidupkan kembali dan memulihkan keanekaragaman hayati pertanian, mempertahankan pangan dan produksi pertanian lainnya. Model pertanian baru yang diperkenalkan dengan istilah-istilah rumit serupa “climate smart agriculture” atau “low carbon agriculture” dengan memperkenalkan benih-benih transgenik tahan perubahan iklim yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga global, perusahaan dan banyak pemerintah hanya akan semakin merampas hak-hak rakyat atas tanah, air dan ekosistem.

5.       Pemerintah Indonesia harus menegaskan kembali prinsip “common but differentiated responsibilities” yang menjadi dasar dari KTT Rio. kebutuhan untuk melindungi lingkungan tidak harus dengan mengorbankan hak negara berkembang untuk pembangunan. Sehingga, proposal karbon biru tidak perlu lagi diteruskan atau pun dibahas lebih lanjut, karena berpotensi merugikan Indonesia.

6.       Transformasi arsitektur keuangan dengan regulasi yang kuat dan memastikan bahwa ia melayani sistem sosial dan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan cara adil dan berkelanjutan. Kami menyerukan untuk segera menghentikan liberalisasi keuangan di semua tingkatan. kontrol atas modal dan kebijakan moneter harus menghentikan praktek spekulasi terutama pada kebutuhan mendasar seperti pangan.

7.       Kami menyerukan pembubaran semua lembaga keuangan internasional dan Bank Pembangunan Regional yang tidak demokratis seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional dan Bank Pembangunan Asia.

8.       Indonesia segera mengkaji ulang keterlibatannya dalam G20 karena tidak mengutungkan rakyat dan khususnya perempuan dan kelompok miskin lainnya.

Koalisi Anti Utang (KAU), Serikat Petani Indonesia (SPI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (KRuHa) Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Solidaritas Perempuan (SP), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Lingkar Studi-Aksi Untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)

cp: 081807867506

Artikel SebelumnyaWelcome to Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Riau
Artikel SelanjutnyaWALHI Minta Pemerintah Selesaikan Konflik Agraria di Riau

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini