Siaran Pers Bersama
SEKBER RIAU
Banalitas Polisi Dalam Konflik Sumberdaya Alam :
Penembakan Petani Batang Kumuh, Rokan Hulu, Riau
Hari ini, Kamis 2 Februari 2012, kembali terjadi penembakan terhadap 5 (lima) orang petani di Batang Kumuh, Kecamatan Tambusai, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Hal ini dipicu adanya konflik lahan perkebunan kelapa sawit antara warga Batang Kumuh dengan PT. Mazuma Agro Indonesia (MAI). Selain menembak 5 orang Petani, aparat Brimob juga menangkap 5 orang lainnya. Kelima orang petani yang ditembak, yaitu
1.   Ranto Sirait (27 thn) luka tembak di paha;
2.   Osman Sihombing (30 thn) luka tembak di kaki;
3.   Anes Sitorus (35 thn) luka tembak di kaku;
4.   Dolok Saribu (30 thn) luka tembak di pantat;
5.   Nomos (35thn) luka tembak di kaki.
Sengketa lahan ini sebenarnya berlangsung sejak 1998. PT. MAI mengklaim lahan seluas 5.508 ha sebagai haknya. Padahal perusahaan tidak mengantongi hak guna usaha (HGU), hanya mendapatkan Izin Prinsip dari Bupati Mandailing Natal (Madina) yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Namun ternyata operasi perusahaan tersebut justru di wilayah Riau. Atas hal ini, warga Batang Kumuh menggugat perusahaan dan telah dimenangkan di Pengadilan Negeri Pasir Pangaraian pada Agustus 2009. Akhirnya PT. MAI pun mengajukan upaya hukum dan sampai sekarang sudah pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung. Selain itu, warga Batang Kumuh juga telah mengajukan penyelesaian tata batas wilayah Rokan Hulu dengan Sumatera Utara, namun hal tersebut sedikit pun tidak ditanggapi dan diselesaikan oleh Departemen Dalam Negeri.
Sudah sejak lama PT. MAI memang kerap menggunakan aparat Brimob untuk mengamankan aktivitasnya. Bahkan, pada tahun 2010-2011 perusahaan ini sampai membakar rumah penduduk, terus menerus menangkapi petani dan warga, serta menembaki petani.
Berdasarkan catatan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Rokan Hulu, dalam konflik antara warga Batang Kumuh dengan PT. MAI sudah sekitar 20 (dua puluh) orang menjadi korban kriminalisasi aparat penegak hukum. Kemudian awal tahun 2012 ini, sudah dua minggu terakhir, PT. MAI menurunkan aparat keamanan dan security perusahaan lengkap dengan senjata laras panjang, dibantu Brimob dari Polres Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, untuk menjaga empat unit alat berat bekerja di lahan konflik perbatasan Riau-Sumut.
Terjadinya kekerasan dan penembakan ini menunjukkan bahwa Kepolisian Republik Indonesia tidak pernah belajar, melakukan koreksi, refleksi dan otokritik atas semua kontribusinya dalam kekerasan-kekerasan terhadap masyarakat bangsa Indonesia. Antara lain dalam kasus Mesuji; Register 45 Lampung; Pembunuhan terhadap Made Aste, Register 45 Lampung; Kekerasan di Bima, Nusa Tenggara Barat; Penembakan Petani Karang Mendapo, Jambi; Penembakan Suku Anak Dalam, Jambi; Penembakan warga Bonto Biraeng, Bulukumba oleh Brimob dan banyak lagi kejahatan lainnya yang dilakukan aparat Kepolisian Republik Indonesia.
Dalam semua peristiwa itu, anggota-anggota Kepolisian Republik Indonesia seolah-olah sudah menjadi pasukan banal. Semua langkah dan tindakannya sangat liar dan sulit diterima akal sehat. Sikap dan perilakunya unpredictable dan cenderung melawan etika dan moralitas yang berlaku. Sehingga, dalam kasus-kasus ini Kepolisian Republik Indonesia yang tumbuh dan berkembang bersama-sama dari rakyat Indonesia, menjadi pembunuh masyarakatnya sendiri (destroy the fabric of society).
Oleh karenanya, kami mengutuk tindakan brutal dan tidak profesional aparat Brimob Tapanuli Selatan yang mengintimidasi dan menembak 5 (lima) petani Batang Kumuh, serta menangkap 5 (lima) petani lainnya. Tindakan penembakan yang diarahkan langsung pada sasaran merupakan bentuk konkrit tindakan penggunaan kekerasan yang berlebihan (the excessive use of force) dari perangkat opresif negara sebagai salah satu bentuk konkrit brutalitas aparat kepolisian dalam menjalankan tugasnya.
Praktek penggunaan kekuatan yang berlebihan ini merupakan pelanggaran serius terhadap standar-standar HAM utama bagi aparat penegak hukum, seperti Kode Etik untuk Aparat Penegak Hukum yang diadopsi melalui Resolusi Majelis Umum PBB No 34/169 1979 khususnya pasal (2) dan (3) dan Prinsip Dasar Penggunaan Kekuatan dan Senjata yang telah diadopsi oleh Badan PBB melalui Resolusi Majelis Umum 14/149 tahun 1986, khususnya terkait dengan ketentuan umum penggunaan kekuatan dan senjata yang sah dan dapat dibenarkan seperti diuraikan dalam paragraph 5 dari instrumen tersebut.
Selain itu, peristiwa penembakan ini sekali lagi menunjukkan bagaimana aparat penegak hukum kehilangan imparsialitasnya dengan menjadi semakin opresif terhadap masyarakat lemah dan sebaliknya memilih menghamba pada kekuatan modal untuk menghancurkan setiap upaya perlawanan masyarakat melalui berbagai cara, termasuk penggunaan kekerasan dan kekuatan senjata terhadap petani.
Aksi brutal aparat Brimob Polda Sumut merupakan pelanggaran yang serius terhadap UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan juga pelanggaran terhadap Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian RI yang memerintahkan seluruh aparat Kepolisian mengedepankan asas legalitas, asas nesesitas, dan asas proporsionalitas dalam melayani warga masyarakat. Keberadaan Perkap No. 8 tahun 2009 dengan demikian belum dapat dipergunakan sebagai suatu petunjuk adanya perubahan kultur kelembagaan di dalam tubuh Kepolisian RI karena gagal menjadi panduan langkah tindak aparat kepolisian di lapangan.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, kami mendesak agar:
- Kapolri, segera melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap tindakan Brimob Polda Sumut dan memproses pelanggaran hukum yang dilakukannya terhadap warga Batang Kumuh, Rokan Hulu, Riau;
- Kapolda Sumatera Utara untuk menghentikan dan mencegah berlanjutnya tindakan brutalitas aparat Brimob, serta menarik seluruhnya satuan Brimob dari Batang Kumuh dan segera memproses secara hukum bawahannya tersebut;
- Kapolda Sumatera Utara untuk menjamin diterapkannya standar HAM dalam pelaksanaan tugas harian satuan kepolisian yang terkait dengan penanganan kasus Batang Kumuh, Rokan Hulu, Riau, sehingga tidak diterapkan tindakan polisional yang membabi buta yang melanggar HAM;
- Kepolisian harus menerapkan pendekatan yang komprehensif untuk dapat mengerti dengan lebih baik duduk perkara dan posisi kasus ini sehingga dapat merumuskan tindakan yang tepat dan mencegah pendekatan polisional yang tidak proporsional dalam penyelesaian konflik tersebut;
- Menteri Dalam Negeri, segera memenuhi permintaan warga Rokan Hulu dan menyelesaikan persoalan batas wilayah antara Rokan Hulu dengan Sumatera Utara, guna mencegah berlarutnya konflik;
- Bupati Rokan Hulu beserta jajarannya sebagai pemegang kekuasaan di daerah untuk tanggap terhadap kasus ini dengan mengedepankan perlindungan terhadap warganya, guna meminimalisir konflik yang dikhawatirkan akan meluas;
- Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap kasus ini sesegera mungkin.
Demikian pernyataan pers ini kami sampaikan untuk dimuat dan disebarkan kepada publik.
Jakarta, 2 Februari 2012
Hormat kami,
SEKBER RIAU