Catatan Diskusi
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau
Pekanbaru, 8 Juni 2023— WALHI Riau kembali menyelenggarakan Diskusi Ramadhan (KURMA) dengan mengusung tema “Membaca Sejarah Kejahatan HAM Era Orde Baru” pada 6 April 2023. Diskusi ini membahas tentang dua Novel karya Leila S. Chudori. Ada dua narasumber yang memparkan diskusi bedah niovel kali ini. Narasumber pertama, Eko Yunanda, memaparkan tentang novel yang berjudul “Pulang”. Narasumber kedua, Umi Ma’rufah, memaparkan tentang novel yang berjudul “Laut Bercerita”.
Diskusi ini dilaksanakan di Rumah Gerakan Rakyat (WALHI Riau) dan dihadiri oleh para pengurus lembaga anggota WALHI Riau, jaringan, masyarakat secara umum, mahasiswa, serta aktivis lingkungan.
Ringkasan paparan masing-masing narasumber dapat disimak pada bagian di bawah:
- Eko Yunanda Novel “Pulang”, Laila S. Chudori
Sebagai pengantar, Eko menjelaskan secara singkat sinopsis novel yang berjudul “Pulang”. Menurut Eko, novel ini menceritakan pada kerinduan orang Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya dan kesulitannya untuk pulang ke tanah kelahirannya, Indonesia. Eko juga menjelaskan, Novel ini diceritakan oleh beberapa tokoh yaitu, Dimas Suryo, Lintang Utara, Bimo Nugroho, Segara Alam, Viviene Deveraux, Hananto Prawiro.
Prolog dari novel ini diawali dengan sebuah tragedi penangkapan, Hananto Prawiro, pemimpin berita nusantara dan dianggap pers yang terlalu kiri oleh pemerintah saat itu. Pada tahun 1965 Hananto Prawiro sempat menjadi buronan dan ditahan di Tahun 1968. Menurut paparan Eko, novel ini bercerita tentang bagaimana eksil politik Tahun 1965 yang menjadi korban perang antar kepentingan politik satu dan lainnya.
Menurut Eko buku ini bukan berbicara tentang siapa yang paling benar, namun rezim Orde Barulah yang menjadi penyebab terjadinya tragedi di Indonesia. Hal ini dicontohkan Eko, seperti tokoh Dimas yang dituduh sebagai biang kerok PKI dikarenakan beliau sering berdiskusi dan satu tempat kerjaan dengan Hananto yang merupakan pemimpin Kantor Berita Nusantara dan dianggap terlalu kiri oleh pemerintah saat itu.
Beralih ke tahun 1998, pada tahun tersebut seorang tokoh bernama Lintang yang merupakan seorang mahasiswa yang disibukkan dengan tugas akhir membuat film dokumenter. Film dokumenter yang dibuat oleh Lintang menceritakan bagaimana gerakan pada Tahun 1998 yang menyebabkan empat Mahasiswa Trisakti yang tertembak oleh tentara. Film ini juga mendokumentasikan bagaimana kesaksian korban 1965 yang menceritakan bagaimana pelanggaran-pelanggaran HAM itu terjadi. Digambarkan juga pada tahun 1998 terjadi penjarahan para Etnis Tionghoa yang mengalami intimidasi dan kekerasan meskipun mereka tidak tau kesalahannya apa.
Pelanggaran-pelanggaran HAM yang diceritakan oleh Novel ini dapat dilihat melalui surat-surat yang dikirimkan ke Prancis oleh beberapa tokoh utama dan dapat disimpulkan adanya mal praktik sejarah di Indonesia. Di dalam novel ini juga dapat dilihat surat-surat yang menceritakan bagaimana penangkapan kepada orang-orang yang dianggap dekat dengan PKI lalu diinterogasi dan disiksa serta ratusan orang sudah banyak terbunuh dan mayat-mayatnya dibuang ke Sungai.
Di akhir, novel ini menceritakan runtuhnya rezim Suharto dan ada harapan bagi eksil-eksil politik yang ada di Eropa untuk pulang. Pada akhirnya Dimas berhasil pulang ke Indonesia namun sudah meninggal dan dikebumikan di kampung halamannya. Pada halaman 80, Dimas menuliskan bagaimana keinginannya untuk pulang.
“Aku mulai menyesali kecenderunganku untuk tidak menetapkan pendirian. Aku gemar berlayar ke mana-mana tak karuan…..Tiba-tiba aku membutuhkan sepetak ruang kecil itu. Sepetak kecil yang menurut Bang Amir diberikan Allah ke hati hamba-Nya.
Sebagai catatan, hingga saat ini eksil politik 1965 masih ratusan atau bahkan ribuan yang tersebar di Eropa. Peristiwa 1965-1966 telah dinyatakan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat oleh penyelidikan pro-justisia Komnas HAM pada 2012.
- Umi Ma’rufah “ Laut Bercerita”, Leila S. Chudori
Sebagai pembuka, Umi menjelaskan bagaimana novel ini berupaya menghidupkan suara korban pelanggaran HAM berat Orde Baru. Umi memaparkan bagaimana pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh rezim Orde Baru secara sistematis hingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa, serta menimbulkan kerugian fisik, psikologis, ekonomi, sosial, dan budaya.
Menurut Umi, pelaku yang harus bertanggujawab terhadap pelanggaran HAM berat adalah Negara. Umi memaparkan terdapat empat jenis pelanggaran HAM berat yang dikategorikan berdasarkan Rome Statute of the International Criminal Court (ICC) dan Amnesty yaitu:
- Kejahatan Genosida merupakan segala bentuk tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan seluruhnya atau sebagian. Suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau kelompok agama. Peristiwa kejahatan Tahun 1965 yaitu kudeta yang dilakukan Suharto terhadap Soekarno. Pada masa itu banyak kejahatan yang diwajarkan seperti pembunuhan, penghilangan, dan penyiksaan besar-besaran terhadap kelompok tertentu dengan kepentingan tertentu, misalnya kelompok PKI.
- Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan bagian dari bentuk tindakan atau serangan yang meluas dan tersistematis. Kejahatan ini ditujukan terhadap penduduk sipil manapun. Pada masa Orde Baru, dimulai pada Tahun 1991-2007 menceritakan bagaimana perjuangan pergerakan mahasiwa yang memperjuangkan demokrasi kemudian menghadapi berbagai macam ancaman, penyiksaan, penculikan hingga penghilangan paksa yang dilakukan negara melalui aparat militer.
- Kejahatan Perang merupakan pelanggaran terhadap hokum perang yang dilakukan oleh militer maupun sipil.
- Kejahatan Agresi merupakan bentuk kejahatan yang meliputi perencanaan, persiapan, inisiasi atau eksekusi, oleh seseorang dalam posisi yang efektif untuk melakukan control atas atau untuk mengarahkan politik suatu negara dan merupakan suatu manifestasi pelanggaran Piagam PBB.
Umi juga memaparkan beberapa kutipan pada Novel ini menjadi gambaran bagaimana kejamnya kejahatan terhadap manusia pada masa itu. “Tulang-tulangku terasa retak karena semalaman tubuhku digebuk, diinjak, dan ditonjok beberapa orang sekaligus,” halaman 50.
Pada kutipan tersebut, dijelaskan oleh Umi, bermula dari seorang aktivis bernama Biru Laut yang merupakan Mahasiswa program studi Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada. Pada novel tersebut, diceritakan bahwa Biru Laut aktif di organisasi mahasiswa yang bernama Winatra Wirasena, yang kala itu banyak melakukan diskusi dan aksi mendampingi masyarakat miskin dan petani. Kala itu, Biru Laut ditangkap di Rumah Susun Klender, Jakarta.
“Terdengar krasak-krusuk tangan-tangan yang berbenah dan tiba-tiba saja sebuah tongkat mengeluarkan lecutan listrik menghajak kepalaku. Aku menjerit ke ujung langit. Seluruh tulangku rasanya rontok, ” halaman 57.
“Tiba-tiba saja aku merasa ada sesuatu yang tajam menembus punggungku. Pedih, perih. Lalu, belakang kepalaku. Seketika aku masih merasakan sebatang kaki bersepatu gerigi yang menendang punggungku. Tubuhku ditarik begitu lekas oleh arus dan bola besi yang terikat pada pergelangan kakiku,” halaman 5.
Pada kutipan ini, dijelaskan oleh Umi pada akhirnya Biru Laut dibuang oleh rezim aparat militer. Biru Laut disiksa, diikat bola besi lalu di buang ke laut tanpa diketahui oleh keluarganya maupun siapapun sampai sekarang.
Menurut Umi, novel ini sangat direkomendasikan untuk mengetahui bagaimana pelanggaran HAM terjadi di Era Orde Baru. Meskipun kepemimpinan di Era Orde Baru yang terlihat aman, tertib, tentram dan damai. Namun, dibalik semua itu Soeharto melakukan berbagai macam cara untuk mempertahakan kuasanya. Ia meredam segala kritik yang ditujukan, Kekerasan, penculikan, pembungkaman terhadap aktifis-aktifis bahkan media-media pun dibungkam.
Umi juga memaparkan, dari data yang dikemukakan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) tercatat 23 orang yang telah dihilangkan oleh negara. Dari angka penculikan tersebut, sembilan orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih menghilang sampai saat ini. 13 orang yang hilang tersebut yang diceritakan di buku ini dan dampaknya dirasakan oleh keluarga dan sahabat mereka yang menganggap mereka belum mati namun mereka tidak mengetahui keberadaannya.
Diceritakan juga oleh Umi, inspirasi Leila menulis novel yang berjudul “Laut Bercerita” terinspirasi dari seorang penyintas penghilangan paksa pada Maret 1998, Nezar Patria menuliskan pengalamannya yang mengalami penyiksaan berat karena melawan Orde Baru. Selain itu, inspirasi lain Leila menulis novel tersebut berdasarkan peristiwa sejarah yang terjadi di beberapa daerah seperti:
- Aksi petani di Blangguan, Jawa Timur; Aksi ini diisi oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari berbagai luar kota seperti Jogjakarta, Semarang, Solo, Jakarta, dan Bandung ikut bersolidaritas dalam merebut hak atas tanah mereka yang dirampas oleh militer sebagai tempat yang akan digunkan untuk latihan militer. Namun, aksi mereka harus digagalkan dikarenakan adanya ancamana penangkapan yang sudah sangat massif. Diceritakan juga bagaimana perjuangan mahasiswa yang harus menerjang hujan dan badai agar terbebas dari intaian aparat militer yang mengawasi mereka.
- Penangkapan di Terminal Bungurasih; Penangkapan dan penyiksaan ini dilakukan terhadap beberapa aktifis termasuk laut.
- Aksi rusuh 27 Juli 1996; Aksi ini diceritakan tidak terlalu spesifik, hal ini dilakukan oleh intel untuk menginterogasi Laut dan teman-teman yang lainnya untuk memastikan apakah mereka sering mengadakan rapat dengan para tokoh yang dianggap melawan S Salah satu Tokoh yang melawan Orde Baru kala itu adalah Megawati, banyak mahasiswa yang mendukungnya karena dianggap masih menjadi bagian dari keluarga Soekarno yang masih menjujung nilai-nilai demokrasi.
- Peristiwa penyiksaan dan penghilangan paksa di penghujung masa Orde Baru;
- Sejarah terbentuknya Komisi untuk Orang Hilang; dan
- Aksi Kamisan. Aksi kamisan terinspirasi para keluarga korban yang ada di Plaza de Mayo Argentina yang menuntut pemerintah pengusutan penghilangan anak-anak mereka yang tidak diketahui nasibnya hingga saat ini. Dan keluarga korban menginisiasi aksi kamisan dengan memakai baju serba hitam, payung hitam dan foto keluarga korban dan menuntut Negara untuk memberikan kejelasan dan keadilan bagi kerabat mereka yang hilang.
Sebagai penutup, Umi membuat beberapa poin untuk dijadikan catatan penting sebagai pesan kepada anak muda khususnya mahasiswa. Beberapa catatan tersebut dirangkum oleh Umi diantaranya adalah:
- Novel ini menyadarkan kita untuk tidak mencederai atau mengecewakan pengobanan para aktivis yang memperjuangkan hak demokrasi dari rezim orde baru. Di satu cerita, Laut dan seorang temannya bernama Alex ketika mereka mengalami penyiksaan dan penganiayaan di penjara bawah tanah. Laut menceritakan bagaimana sakitnya kala itu, ketika Laut dibawa untuk diikat ke balok besi, disana ia melihat temannya yang bernama Gusti yang selama ini dikenal baik dan satu organisasi bersamanya, namun ternyata bagian dari rezim kala itu, baginya kenyataan penghianatan itu lebih menyakitkan dari semua penyiksaan yang dialami ketika berada di dalam penjara.
- Pentingnya anak muda mengisi aktivitasnya dengan membaca, berdiskusi, menulis, bergerak, dan dekat dengan problem rakyat. Aktivitas yang ditulis pada novel ini harusnya menjadi inspirasi bagi anak muda untuk bergerak, berjuang dan ikut andil dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat, dan harusnya hal ini adalah menjadi panggilan hati yang dimiliki anak muda khususnya mahasiswa. Mahasiswa merupakan 1 entitas yang memiliki akses dan posisi untuk bebas berdiskusi, berorganisasi dan bebas mendapatkan pengetahuan.
- Membangun empati kepada keluarga dan orang terdekat korban pelanggaran HAM berat yang masih menuntut tanggungjawab negara terhadap apa yang anak/kerabat mereka alami. Hal ini dikarenakan sulitnya menghilangkan trauma yang dialami oleh keluarga korban untuk menerima kenyataan bahwasannya anaknya tidak pernah pulang.
- Menuntut negara untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Serta berbagai pelanggaran HAM yang saat ini masih banyak terjadi. Pada tahun 1998 merupakan peristiwa yang harusnya membuat kita bisa bergerak untuk menyuarakan kepada Negara untuk bertanggung jawab dan mengusut tuntas atas pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Usai pemaparan narasumber, Agus selaku moderator membuka sesi tanya jawab dan diskusi. Sesi ini diikuti oleh beberapa peserta yang menceritakan bagaimana pengalaman mereka membaca novel-novel karya Leila S. Chudori dan beberapa peserta ada yang menceritakan pengalaman mereka ketika hidup di Era Orde Baru.
Sebagai penutup diskusi ini, masing-masing narasumber merekomendasikan kepada peserta yang hadir untuk membaca novel karya Leila S. Chudori serta mengajak generasi muda untuk tetap melawan dan berdiri tegak bersama keadilan jika terjadi pelanggaran HAM tanpa memandang siapapun rezimnya.
Diskusi selengkapnya dapat disimak di https://www.youtube.com/watch?v=5-NA4N9Tunw