Analisis Implementasi Kebijakan Perhutanan Sosial di Lahan Gambut
A. Latar Belakang
Provinsi Riau salah satu dari banyak provinsi di Indonesia yang mengalami ketimpangan akses dan penguasaan lahan, terlebih di lahan gambut. Sebagaimana diketahui bahwa luas lahan gambut di Provinsi Riau sejumlah kurang lebih 50% dari total luasan Provinsi Riau yang tersebar di hampir seluruh wilayah kabupaten. Sehingga dari total luasan Provinsi Riau ±9 juta hektar, lebih dari 4 juta hektarnya merupakan gambut dengan kedalaman yang bervariasi. Invansi dan ekspansi industri di Riau mengakibatkan menurunnya kualitas gambut, yang juga berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Ketimpangan tersebut tidak hanya berekses pada bencana ekologis seperti kebakaran hutan dan lahan gambut yang menyebabkan kabut asap dan pelepasan karbon yang begitu besar ke atmosfer, namun juga menjadi faktor yang mengakibatkan penurunan ekonomi bagi masyarakat Riau serta perubahan sosial dan budaya bersamaan dengan hal tersebut. Sebut saja pembuatan kanal-kanal besar yang dilakukan perusahaan dalam rangka kegiatan guna menunjang usahanya yang mengakibatkan gambut menjadi kering dan rentan terbakar. Hal ini tentu kontradiktif dengan pengelolaan gambut yang sudah dilakukan sejak dulu oleh masyarakat, tanpa mengakibatkan kekeringan gambut, lahan gambut tetap memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat dengan menanami tanaman yang cocok dengan lahan gambut, seperti kelapa.
Upaya restorasi/ perbaikan lahan gambut terus dilakukan guna menekan laju kerusakan gambut. Badan Restorasi Gambut yang selanjutnya disingkat menjadi BRG memiliki tugas mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut di tujuh provinsi, salah satunya adalah Provinsi Riau. Sejalan dengan tugas tersebut, salah satu fungsi BRG juga melaksanakan mandat lain yang diberikan oleh Presiden, salah satunya adalah tugas tambahan untuk masuk ke dalam konsep perhutanan sosial di kawasan gambut.[1]
Berdasarkan 1,42 juta hektar Peta Indikatif Alokasi Perhutanan Sosial di Provinsi Riau, implementasinya masih berada diangka 6% (kurang dari 100.000 ha) yang memperoleh izin dengan skema Perhutanan Sosial untuk masyarakat. Implementasi tersebut berkat usulan dan kerja keras organisasi non pemerintah dalam mendorong implementasi lima model pengelolaan dalam skema Perhutanan Sosial hingga hari ini.[2]
Jika menilik target PIAPS di Provinsi Riau, capaian tersebut tentulah jauh dari yang ditargetkan. Hal ini belum mengakomodir secara eksplisit implementasi Perhutanan Sosial di lahan gambut serta implikasi penerapan moratorium gambut dan pasca pengesahan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Riau.
Beranjak dari hal tersebut, telaahan kajian ini bertujuan guna mengetahui hambatan, tantangan dan strategi akselerasi Perhutanan Sosial di Riau khususnya di lahan gambut. Adapun batasan dalam penulisan ini adalah implementasi kebijakan dan aturan perhutanan sosial di lahan gambut Provinsi Riau.
B. Hasil Analisis
- Beban Konsesi Perizinan Terhadap Gambut
Provinsi Riau dan sebaran gambutnya tidak bisa dipisahkan dari perjalanan invansi dan ekspansi yang menyebabkan degradasi kualitas gambut. Total keseluruhan luasan Provinsi Riau, setidaknya terdapat lebih dari 4 juta sebaran gambut, dari total tersebut, berdasarkan olahan data spasial yang dilakukan WALHI Riau, diketahui bahwa hingga tahun 2012, ±1,5 juta hektarnya telah beralih fungsi maupun telah dibebani izin baik peruntukkannya sebagai HGU maupun Hutan Tanaman Industri.
Berdasarkan hasil olahan tersebut, secara keseluruhan total gambut yang dibebani dengan HGU seluas ±164.000 hektar yang tersebar pada sekitar 50 perusahaan. Dari luasan tersebut tentu beban konsesi di gambut bertambah, mengingat dalam catatan Walhi Riau hingga tahun 2017, setidaknya lahan perkebunan di Provinsi Riau telah mencapai total luasan 3,4 juta hektar.[3] Banyak dari perusahaan yang mengantongi izin tersebut, tentu tidak lepas dari konflik agraria dan pelanggaran hukum lainnya.
Tabel I. Sebaran Konsesi di Gambut
Peruntukkan |
Luas (ha) |
Sebaran |
HGU | 164.287 | 50 Perusahaan |
HTI | 1.408.308 | 51 Perusahaan |
Total | 1.572.595 | 101 Perusahaan |
Sumber. Olahan data Walhi Riau, 2012
Asia Pulp and Paper Group mendominasi dengan sebaran HTI dilahan gambut dengan luas konsesinya ±680.000 hektar yang tersebar di ±20 anak perusahaannya. Selanjutnya yang mendominasi dan turut berkontribusi terhadap degradasi kualitas gambut adalah APRIL Group dengan sebaran luasan konsesi di gambut ±578.000 hektar yang tersebar di ±28 anak perusahaannya, disusul oleh Barito Group dengan luasan ±129.000 hektar di 2 anak perusahaannya dan terakhir, PT Rokan Permai Timber dengan luasan gambut yang dibebaninya ±20.000 hektar.
Total sebaran luasan konsesi di gambut, baik peruntukkannya sebagai HGU ataupun HTI jelas tidak menimbang kualifikasi kedalaman lahan gambut yang menjadi faktor utama penyebab bencana ekologi di Riau. Kebakaran hutan dan lahan yang berakibat kabut asap menjadi perhatian dunia internasional dan bagian dari akibat invansi serta ekspansi industri. Mengapa? Hal ini merujuk pada temuan lapangan Walhi Riau dan dilanjutkan dengan pelaporan ke penegak hukum. Terhitung dalam dua tahun terakhir (2017-2018), Walhi Riau telah melaporkan setidaknya 7 perusahaan yang diduga melakukan pembakaran hutan dan lahan serta berdampak pada bencana kabut asap dan kerusakan lingkungan hidup. Pada November 2017, Walhi Riau melaporkan empat perusahaan yang areal diduga melakukan pembakaran dalam rangka land clearing ataupun kelalaiannya yang menyebabkan terjadinya kebakaran. PT Indrawan Perkasa, PT Setia Agrindo Mandiri, PT Citra Palma Kencana, dan PT Indogreen Jaya Abadi adalah empat perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berada di Kabupaten Indragiri Hilir. Namun hingga hari ini, berdasarkan SP2HP yang diterima Walhi Riau, hanya PT Setia Agrindo Mandiri dan PT Indrawan Perkasa yang baru memasuki tahap penyelidikan. Selanjutnya pada 20 September 2018, Walhi Riau kembali melaporkan 3 perusahaan dengan dugaan yang sama terkait pembakaran hutan dan lahan.
Selain sebagai upaya penegakan hukum disektor lingkungan hidup dan kehutanan serta dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia terkait lingkungan hidup, pelaporan yang dilakukan Walhi Riau memperlihatkan bahwa perizinan (kepercayaan negara terhadap korporasi) yang diberikan kepada korporasi lebih rentan menyebabkan bencana ekologi dan kerusakan ekosistem gambut jika dibandingkan kearifan lokal masyarakat dalam melakukan pengelolaan ekosistem gambut.
- Inkonsistensi Keberpihakan Negara dalam Regulasi Perhutanan Sosial
Sebagaimana dijelaskan dalam narasi diatas, bahwa dominasi perusahaan dalam olahan data spasial Walhi Riau hingga 2012 dan perluasan akses penguasaan serta pengelolaan kepada korporasi hingga tahun 2017 memperlihatkan bagaimana beban areal konsesi terhadap gambut yang turut berimplikasi terhadap kerusakan lingkungan hidup dan ekosistem gambut di Riau.
Pemberian akses kelola dengan skema Hutan Desa dalam Perhutanan Sosial pada tujuh desa di Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti pada pertengahan tahun 2017 menjadi bukti tersendiri bahwa pasca pengelolaan dikembalikan kepada masyarakat lahan gambut terjaga dan menunjang nafkah hidup rakyat. Sayangnya, pemberian akses kelola yang langsung dimandatkan oleh Presiden dalam blususkan asapnya pada tahun 2015 lalu tidak dibarengi dengan lahirnya regulasi yang bisa mengakomodir implementasi Perhutanan Sosial di lahan gambut.
Pada kenyataannya pemberian akses kelola Perhutanan Sosial secara umum, sesuai dengan arahan presiden harus aman dan tepat sasaran dengan strategi percepatan implementasinya sebagai berikut[4]:
- Penyederhanaan peraturan;
- PIAPS;
- Pokja PPS;
- Pilot project Perhutanan Sosial; dan
- Sistem navigasi
Terkait dengan strategi tersebut, Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial yang selanjutnya disebut Pokja PPS terhitung sejak ditandatangani pada bulan Februari 2018 lalu, hingga sekarang pemerintah daerah belum ada target bahkan realisasi pemberian hak kelola hutan kepada masyarakat juga masih nihil.
Selanjutnya penyederhanaan peraturan yang juga merupakan strategi percepatan nyatanya tidak berjalan sehingga tidak bisa di implementasikan untuk realisasi Perhutanan Sosial di Riau khususnya di lahan gambut. Secara aturan pelaksana, Pasal 5 ayat (5) juncto Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial memandatkan bahwa PIAPS ditetapkan melalui harmonisasi peta yang dimiliki oleh kementerian lingkungan hidup dan kehutanan dengan peta yang dimiliki oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan sumber-sumber lain serta konsultasi dengan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/ kota dan para pihak terkait dengan prioritas untuk penyelesaian konflik, kegiatan restorasi gambut dan/ atau restorasi ekosistem.
Menjadi perhatian bahwa terdapat perundang-undangan terkait restorasi gambut yakni, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang merupakan amanat UU 32 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang secara hirarki peraturan perundang-undangan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan Peraturan Menteri. Namun yang harus dicermati adalah ekosistem gambut merupakan satu kesatuan dengan lingkungan hidup yang tidak bisa dipisahkan. Maka berdasarkan UU PPLH asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup didasarkan salah satunya kearifan lokal dan partisipatif. Kearifan lokal sendiri berdasarkan Pasal 1 ketentuan umum UU PPLH memiliki arti sebagai berikut:
“kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari”
Ringkasnya, maka perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut juga harus berlandaskan asas partisipatif serta kearifan lokal. Sehingga aturan terkait perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut tidak dipandang secara parsial agar tidak menimbulkan seolah olah sebuah pertentangan secara hirarki peraturan perundang-undangan.
Tidak hanya PP Gambut yang ditafsirkan secara parsial oleh negara, kebijakan land swap dan moratorium perizinan yang tertuang dalam Intruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Secara normatif, kebijakan ini mengakomodir kepentingan dan keberlanjutan lingkungan hidup, namun jika melihat sisi penerapannya, kedua aturan ini tidak implementatif.
Seperti diketahui pada penjelasan diatas bahwa Provinsi Riau, lebih dari 50% areanya merupakan gambut dengan kedalaman yang bervariasi. Selanjutnya beban konsesi terhadap gambut dalam paparan hasil analisis poin sebelumnya memperlihatkan bagaimana kontribusi korporasi terhadap kerusakan gambut dan kebakaran hutan dan lahan. Sayangnya, gambut yang sedemikian luas turut dibebani ketidakpercayaan negara melalui lahirnya aturan penghambat realisasi janji politik Jokowi sendiri dalam Nawacitanya.
Tabel II. Hambatan implementasi Perhutanan Sosial dalam Inpres 6/2017 dan Permen LHK 40/2017
Inpres 6 Tahun 2017 |
Permen LHK Nomor P.40/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 |
MenLHK melanjutkan penundaan terhadap penerbitan izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi yang dapat dikonversi berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru
|
Kebijakan land swap memperkukuh dominasi korporasi dalam penguasaan hutan dan lahan dengan hanya mengubah RKT dan RKU pada konsesi HTI menambah penguasaan lahan baru korporasi di hutan Indonesia |
Skema land swap melegitimasi “keterlanjuran” penerbitan izin usaha perkebunan kayu yang dalam proses penerbitannya sarat dengan pelanggaran kriteria yang ditentukan peraturan perundang-undangan |
|
Penyelesaian konflik dengan pilihan HTR kental dengan orientasi pemenuhan baku industri pulp and paper |
|
Kebijakan land swap hanya memperparah deforestasi yang akan melahirkan bencana ekologis |
Peta Indikatif Alokasi Perhutanan Sosial (PIAPS) seluas ±1,4 juta ha untuk rakyat ±500.000 ha berada didalam Intrusksi Presiden tentang penundaan pemberian izin baru di lahan gambut. Sejalan dengan hal tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan ujung tombak realisasi perhutanan sosial yang kewenangannya kemudian ditumpulkan dalam Inpres 6 2017 diatas (sesuai tabel). KLHK diintruksikan untuk melanjutkan penundaan terhadap penerbitan izin dibeberapa fungsi kawasan yang hal tersebut berkelindan dengan sebaran PIAPS di Riau yang sebagian juga berada di hutan produksi serta hutan konservasi.
Menjadi perhatian selanjutnya adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan secara sistematika tunduk kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 7 ayat (1) secara tegas menyebutkan bahwa:
“Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota”
Terkait implementasi Perhutanan Sosial di Riau khususnya terdapat beberapa regulasi serta kebijakan yang merupakan proses dan tata cara pengajuan hingga penetapan Perhutanan Sosial. Peraturan Menteri Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam Pasal 7 diatas, memang tidak terdapat Peraturan Menteri dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Namun dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang juga termasuk Peraturan Menteri diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Selanjutnya, terkait dengan gambut terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, sehingga secara hirarki peraturan perundang-undangan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Perhutanan Sosial tidak bisa diimplementasikan begitu saja mengingat Peraturan Pemerintah kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan Peraturan Menteri, meskipun dalam peraturan menteri tersebut memandatkan bahwa PIAPS ditetapkan dengan mempertimbangkan penyelesaian konflik, kegiatan restorasi gambut dan/ atau restorasi ekosistem sebagai prioritas.
Namun perlu diperhatikan selanjutnya adalah bahwa salah satu amanat pembentukan peraturan perundang-undangan adalah didasarkan pada kewenangan dan amanat aturan yang lebih tinggi. Mengingat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 dan 71 terkait Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka perlu dilakukan telaahan kembali apa yang diamanatkan oleh UU PPLH khususnya dalam perlindungan gambut. Selain itu, baik Inpres 6/2017 tersebut ataupun Permen LHK 40/2017 juga bertentangan dengan PP Gambut yang dalam pembentukannya tunduk terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sayangnya cara pandang dan penafsiran yang parsial terhadap aturan yang ada melahirkan hambatan guna implementasi Perhutanan Sosial di Provinsi Riau dan ini sudah terlajur berkelindan dengan cara pandang pemerintah dalam realisasi perhutanan sosial dilahan gambut. Hal ini terlihat dari lamanya tindaklanjut yang dialami masyarakat yang mengajukan perhutanan sosial digambut, diantaranya adalah Kelompok Tani Kepau Baru Lestari yang dibentuk bersama Walhi Riau, beranggotakan 328 yang mengajukan Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) diatas lahan gambut seluas 6.850 hektar. Usulan ini diusulkan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Desember 2017 dilengkapi dengan dokumen-dokumen persyaratannya. Usulan tersebut lolos verifikasi administrasi namun verifikasi lapangan tidak kunjung dilakukan. Tidak hanya Desa Kepau Baru, Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) mengusulkan 43.500 hektar Perhutanan Sosial dan masih belum ditindaklanjuti.
C. Penutup
Beranjak dari hasil analisis diatas, diketahui bahwa kendala dalam implementasi perhutanan sosial dilahan gambut adalah sebagai berikut:
- Diketahui bahwa Luas gambut di Riau diketahui hampir setengahnya hingga 2012 telah dibebani izin konsesi perusahaan baik peruntukkannya sebagai HGU seluas 164.287 hektar dan HTI seluas 1.408.308 hektar, dengan total luasan 1.572.595 hektar dari total luasan gambut ±4 juta hektar di Riau. Bahkan sangat memungkinkan adanya penambahan luasan beban konsesi di gambut, mengingat sejak 2012-2017 luasan perkebunan mencapai ±3,4 juta hektar dan peruntukkan sebagai HTI mencapai 2,4 juta hektar di Provinsi Riau. Hal ini memperkukuh bahwa penguasaan dan pengelolaan yang dilakukan korporasi nyatanya merusak dan memperparah penurunan kualitas gambut jika dibandingkan dengan penguasaan dan pengelolaan yang dikembalikan kepada masyarakat. Sebagai bukti, penguasaan dan pengelolaan dilahan gambut yang dilakukan masyarakat di tujuh desa di Kabupaten Kepulauan Meranti pasca diserahkannya Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Desa;
- Adanya aturan yang berbenturan dalam rangka realisasi Perhutanan Sosial di lahan gambut, yakni Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 dengan Peraturan Pemerintah terkait Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang berdampak sulitnya realisasi Perhutanan Sosial di lahan gambut serta Intruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017 serta Permen LHK Nomor 40 Tahun 2017; dan
- Strategi percepatan yang dibuat tidak dijalankan sebagaimana seharusnya sebuah startegi akselerasi. Hal tersebut terlihat dari dua poin besar dalam strategi akselerasi. Pertama, terkait pembentukan Pokja PPS yang pembentukan, pengesahannya terkesan begitu lambat oleh pemerintah provinsi. Bahkan pasca disahkan pun, hingga hari ini belum ada progress yang berarti dalam rangka percepatan implementasi Perhutanan Sosial. Kedua, terkait penyederhanaan peraturan, implementasi perhutanan sosial di lahan gambut masih dihadapkan dengan kendala berbenturannya aturan pelaksana terkait perhutanan sosial dengan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Berbenturannya aturan ini belum mempertimbangkan dan mengakomodir kemampuan rakyat dalam menjaga dan mengelola lahan gambut yang nyatanya, telah dilakukan sejak turun temurun.
Beranjak dari kesimpulan tersebut, adapun saran yang dipaparkan adalah sebagai berikut:
- Mendorong penegak hukum untuk melakukan penegakan hukum sektor lingkungan hidup dan kehutanan dalam rangka menekan laju kerusakan lingkungan khususnya gambut akibat invansi dan ekspansi industri serta mendorong negara melalui Pemerintah Daerah Provinsi Riau mengembalikan penguasaan dan pengelolaan kepada masyarakat.
- Menyegerakan lahirnya peraturan yang mengakomodir perhutanan sosial dilahan gambut atau setidak-tidaknya menyegerakan proses pengajuan perhutanan sosial dilahan gambut dengan mempertimbangkan asas partisipatif dan kearifan lokal masyarakat dalam melakukan pengelolaan serta perlindungan ekosistem gambut sesuai dengan UU PPLH yang diamanatkan dalam PP terkait Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dalam aturan turunan yang berkelindan dengan perhutanan sosial; dan
- Mendorong Pemerintah Provinsi Riau menyegerakan pelaksanaan strategi percepatan implementasi perhutanan sosial secara menyeluruh dan memberi perhatian khususnya implementasi perhutanan sosial di lahan gambut serta mengakomodir kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut.
[1] https://brg.go.id/restorasi-gambut-perlu-topang-perhutanan-sosial/#, diakses pada 12 November 2018
[2] Paparan Gubernur Riau dalam Seminar “Mengembalikan Hutan Tanah Untuk Rakyat” Pekanbaru, 02 Juli 2018
[3] Catatan Akhir Tahun 2017 Walhi Riau “Refleksi Riau 2017 dan Platform Politik Walhi 2018”
[4] Paparan Gubernur Riau dalam Seminar “Mengembalikan Hutan Tanah Untuk Rakyat” Pekanbaru, 02 Juli 2018