Beranda Uncategorized Koalisi NGO: Presiden Harus Selesaikan Kasus Pulau Padang

Koalisi NGO: Presiden Harus Selesaikan Kasus Pulau Padang

266
0

KOALISI  Pendukung Perjuangan Rakyat Kepulauan Meranti mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera bertindak menyelesaikan kasus kehutanan di Riau terutama di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti.  Presiden harus bergerak cepat untuk mencegah aksi bakar diri 10  warga setempat.

Penangguhan izin terhadap PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) solusi cepat yang bisa diambil pemerintah guna memberi waktu bagi penyelesaian konflik antara perusahaan dengan masyarakat.

Riko Kurniawan, jurubicara koalisi mengatakan, koalisi menilai aksi bakar diri masyarakat tidak patut terjadi. Namun, keputusan bertindak ekstrim ini terjadi akibat frustasi tinggi karena masyarakat telah kehilangan harapan. Sebab, fungsi pemerintah dalam melindungi warga tak berjalan.

“Upaya penyelesaian konflik yang telah dan sedang dilakukan pemerintah selalu mengedepankan kepentingan industri dan memposisikan masyarakat pada ketidakadilan,” katanya, Jumat(29/6/12).

Untuk itu, Presiden harus mengambil-alih tanggung jawab menghentikan keputusan ekstrim dari masyarakat korban konflik kehutanan di Riau dan di sejumlah daerah lain.  “Ini kesempatan baik bagi presiden memulai menata kembali persoalan di Kementerian Kehutanan,” ujar dia.

 

Warga Pulau Padang yang membentuk Posko Bakar Diri di DPRD Riau. Jika pemerintah cenderung mengakomodir keinginan pengusaha besar, dan masyarakat lokal makin terpinggirkan, konflik antara warga dan perusahaan tak akan pernah usai. Foto: Ahlul Fadli

Konflik masyarakat dengan perusahaan di Pulau Padang, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti dengan PT RAPP (APRIL Grup) terjadi sejak SK Menhut nomor 327 tahun 2009 keluar. SK ini menambah luasan wilayah konsesi RAPP yang sebelumnya sudah diperoleh di Riau, di antara konsesi tambahan ada di hutan gambut Pulau Padang dan Semenanjung Kampar.

Penyimpangan hukum atas terbit SK 327 ini setidaknya ada pada proses kelengkapan administrasi, konfirmasi kawasan, penyusunan Amdal dan pelanggaran terhadap aturan hukum lain.

“Dari pelanggaran proses perizinan ini wajar saja protes dari masyarakat terus terjadi karena ini menyangkut pengambil-alihan hak penguasaan tanah dari generasi mereka.”

Pulau Padang sejatinya masuk kategori pulau kecil dan terbentuk dari kubah gambut yang sangat rentan jika ada aktivitas konversi hutan skala luas. Dengan pola pengelolaan tradisional, berdasarkan pengamatan kasat mata di Pulau Padang menunjukkan penurunan permukaan tanah gambut mencapai satu meter lebih dalam beberapa tahun terakhir.

Selain itu, perkebunan sagu yang menjadi sektor andalan masyarakat Pulau Padang akan terganggu karena konversi hutan gambut dan akan membuat lahan terlalu kering. Kondisi lain diperparah makin tinggi pengikisan tanah di pesisir. Masyarakat lokal juga memiliki ketergantungan tinggi terhadap hutan.

Bukan saja sektor lingkungan dan ekonomi, dampak sosial dari SK 327 ini jauh lebih merugikan. Sejak SK ini diterbitkan, keutuhan sosial masyarakat tidak lagi ada. Penyelesaian konflik secara sepihak dan pro-industri meningkatkan keresahan sosial.

Masyarakat Pulau Padang, mulanya hidup tenang dengan pola pertanian dan perkebunan sagu dan karet mulai terusik ketika RAPP masuk. Perusahaan ini akan mengubah hutan alam seluas 40.000 hektare (ha) dari 110.000 ha luas Pulau Padang untuk tanaman monokultur akasia.

Koalisi Pendukung Perjuangan Rakyat Kepulauan Meranti ini terdiri dari Walhi Riau, Serikat tani Riau, PRD Riau, JMGR, Jikalahari, Greenpeace, Kabut, TII Riau, Scale Up, Rumah Pohon.

Merasa Diabaikan

Sementara, warga Pulau Padang di Posko 10 Nyawa untuk SBY merasa sampai saat ini, pemerintah mengabaikan perjuangan dan tuntutan mereka.

Ridwan Ketua Tani Riau (STR) mengatakan, pemerintah masih saja menjalankan keinginan dan tak mau mendengar suara warga.  “Perjuangan ini untuk menuntut keadilan agar Presiden melakukan evaluasi terhadap SK 327,” katanya, Jumat(29/6/12).

Mereka meminta, pemerintah mengeluarkan seluruh Blok PT RAPP seluas 41.205 hektare dari Pulau Padang. Namun, katanya, saat ini, di Pulau Padang, malah Badan Pemetaan Hutan Kawasan (BPHK) Tanjung Pinang, bersama PT RAPP dan tim terpadu Kabupaten Kepulauan Meranti tetap pemetaan tapal batas.

“Apakah mereka tak mengetahui seakan tak ada masalah.  Hingga mereka tetap membuat tapal batas untuk melanjutkan operasional.” “Senin 2 Juli, kami pasti tetap ke Jakarta.”

Artikel SebelumnyaPeta Distribusi Hot Spot RIAU Juni 2012
Artikel SelanjutnyaMenhut Diberi Waktu Seminggu Cabut Izin RAPP di Pulau Padang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini