Pekanbaru, 19 Oktober 2021—Dalam rangkaian PDLH WALHI Riau ke VI, diselenggarakan seminar dengan tema “Penegakan Hukum dan Pemulihan Lingkungan Hidup” dengan pembicara AKBP Heri Irawan (Dirreskrimsus Polda Riau), Reynaldo G Sembiring (Direktur ICEL) dan Made Ali (Koordinator JIKALAHARI), seminar ini dipandu oleh Kunni Masrohanti sebagai moderator.
AKBP AKBP Heri Irawan mengawali pembicaraan seputar penegakan hukum khususnya kasus karhutla di Provinsi Riau, menurutnya Polda Riau berkontribusi dalam hal penanganan karhula dengan adanya dashboard lancangkuning yang membantu anggota dilapangan ketika ada muncul titik api, “Dari data yang kami terima, situasi dan kondisi kejadian kebakaran disengaja maupun tidak kita akan melakukan penanganan,” ujar AKBP Heri Irawan.
Pada 2021, Polda Riau merilis laporan setidaknya ada 6000 kejadian yang terpantau oleh dashboard lancang kuning dan 3000 telah diverivikasi adanya titik api dan sisanya tidak ditemukan. Menurut AKBP Heri Irawan untuk penegakan hukum saat ini hampir 20 kasus belum menyentuk korpoasi masih perorangan. “Namun sebelumnya kami sudah menangani 2 kasus yang menjerat korporasi, satunya sudah vonis dan satu lagi masih jadi tugas kami di kepolisian.”
Selanjutnya Reynaldo G Sembiring dari ICEL memaparkan soal tujuan yang lebih strategis dalam penegakan hukum lingkungan tidak hanya menghukum pelaku saja tapi juga melakukan pemulihan lingkungan akibat perbuatan pelaku itu sendiri. Menurutnya dalam asas yang dipakai yaitu pencemar membayar dalam konteks penegakan hukum di Riau sangat tepat sasarannya khususnya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi besar. “Selanjutnya pemulihan lingkungan korporasi tidak hanya bertanggung jawab pada ranah hukum mereka juga membayar kerugian kepada masyarakat,” kata Reynaldo G Sembiring.
Ia menjelaskan terkait kewenangan daerah dalam penegakan hukum lingkungan pasca UU Cipta Kerja tidak banyak yang berubah, kita tetap fokus pada Undang-Undang Lingkungan, Kehutanan dan Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Penegakan hukum ini bisa menggunakan pendekatan pidana, perdata dan sanksi administratif. “Peran pemerintah daerah harus optimal dengan mengutus unit penegakan hukum seperti PPNS, namun pada kenyataannya tidak berjalan dengan baik sehingga di Tarik ke pusat dalam hal ini LHK atau pidananya oleh kepolisian,” ucap Reynaldo G Sembiring.
Dalam Undang-Undang Ciptakerja istilah izin bukan lagi izin lingkungan sebagai pintu masuk untuk melakukan penegakan hukum administratif atau dalam pembuktian hukum pidana maupun perdata. Yang berlaku ialah izin berusaha namun materi dalamnya masih seputar lingkugan. “Ini yang perlu pengawasan untuk melihat pelanggarannya di lapangan, pengawasan oleh masyarakat sipil.”
Perlu dilihat dalam penegakan hukum ada perubahan yaitu dekriminalisasi yaitu perbuatan pidana yang dirubah menjadi tindak perbuatan pidana beberapa menjadi perbuatan administratif, seperti pasal 110 a dan b yang dalam UU 18/2013 perubahan UU Ciptaker bahwa usaha yang dulu sawit illegal dalam perizinan akan akui legalitasnya dan dikenakan sanksi administrasi. “Skema ini dalam prosesnya tidak sederhana perlu monitoring dokumen perusahaan yang memenuhi kriteria dan bagaiman proses pemberian sanksi tersebut itu juga perlu di pelajari. Perlu kita ingat, jejak masa lalu perusahaan yang punya tanggung jawab hukum,” terang Reynaldo G Sembiring.
Terkait eksekusi putusan perkara lingkungan menurutnya perlu memantau perubahnnya namun pelanggaran hukum khususnya pidana lingkungan bisa dipertanggung jawabkan terlepas perubahan regulasi. Seperti sanksi administrasi atau mengganti kerugian masyarakat dan lingkungan. “Hal yang perlu di lakukan oleh pemerintah daerah ialah saat penerbitan izin atau persetujuan lingkungan harus melakukan pengawasan untuk menjalankan sanksi administratif jadi jangan lepas tangan. “
Made Ali berikan penjelasan soal tata kelola lingkungan hidup di Provinsi Riau, menurutnya munculnya Covid 19, tidak membuat pemerintah pusat melakukan pemulihan lingkungan, kita tahu virus hadir karena ruang ekositem sudah mulai di rusak, akhirnya menyebar untuk mincari tempat. “Salah satu faktor rusaknya lingkungan di Riau dengan hadirnya perusahaan sawit dan HTI yang sejak awal tidak punya komitmen dalam perbaikan dan pemulihan,” kata Made Ali.
Hadirnya Presiden Jokowi ke Provinsi Riau saat terjandinya karhutla, namun menteri yang bekerja hanya dua menteri dan pihak kepolisian, yang lain seperti Menteri ATR, Pertanian tidak bekerja untuk menyelesaikan karhutla dan memperbaiki tata kelola lingkungan hidup. Karena karthula juga terjadi di wilayah HGU, kebakanyakan lahan yang terbakar ialah gambut dan mangrove.
Hadirnya UU Cipta Kerja, membuat masa operasinal perusahaan di perpanjang hingga 180 tahun, selain itu tidak berjalannya pengukuhan kawasan hutan yang di kuasai secara illegal dan legal dalam UU Cipta Kerja mendapat ampunan. Perjuangan yang Walhi Riau dan Jikalahari lakukan saat Judicial Review Perda RTRW salah satunya kita meminta Pemrov Riau untuk mendesak KLHK melakukan pengukuhan ulang kawasan hutan khususya wilayah HTI yang banyak di temukan konflik.
Selain itu, dalam perda RTRW Riau, hutan adat yang di usulkan hanya 470 ha, namun untuk legalitasnya belum semua yang terdaftar. Pasca putusan Judicial Review oleh MA pembahasan ulang Perda RTRW oleh DPRD dan Pemerintah Provinsi masih tertutup. “Perlu dorongan untuk perda masyarakat adat, karena itu putusan MA, ini peluang. Sekarang KLHK juga memberi ruang untuk pengusulan hutan adat dengan legalitas pengakuan dalam bentuk SK Bupati.”