Beranda Perkotaan Pemimpin Tak Berikan Contoh Soal Pengelolaan Sampah Yang Baik

Pemimpin Tak Berikan Contoh Soal Pengelolaan Sampah Yang Baik

271
0

Pekanbaru, 19 Oktober 2021—Walhi Riau dalam rangkaian PDLH ke VI, juga menaja seminar seputar isu perkotaan dan pengelolaan sampah Kota Pekanbaru. Hadir sebagai pembicara Noval Setiawan—LBH Pekanbaru, Abdul Ghofar—Manajer Program Perubahan Iklim, Walhi Nasional dan Sri Arliana—Dosen Fakultas Hukum, Universitas Islam Riau. Dalam pejalananya pengurangan dan pembatasan plastik sekali pakai yang menyebabkan kantong plastik menjadi salah satu penyumbang terbanyak untuk sampah dan sumber polusi di Kota Pekanbaru.

LBH Pekanbaru tergabung dalam koalisi Sapu Bersih yang menyotori pengelolaan sampah di Kota Pekanbaru, khususnya mendorong pembatasan sampah plastik sekali pakai. Menutur Noval pemerintah kota masih belum membuka data berapa komposisi sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga, industri, usaha dan UMKM. “Data pengelolaan belum banyak dibuka dan kami melihat komitmen dari pemerintah maish rendah dalam membuka ruang untuk keterlibatan masyarakat sipil,” kata Noval Setiawan.

Kalau kita lihat jumlah timbulan sampah secara nasional tahun 2020 mencapai 67,8 juta ton terlebih konsumsi sampah plastik 2016 saja 32.000 peritel modern mencapai 9,85 miliar pertahun. Adapun, angka tersebut naik 8,83 persen menjadi 10,72 miliar lembar/tahun pada 2018, lalu ada peningkatan komposisi sampah plastik sekitar 5-6 persen per tahun sejak tahun 2000 (17-25 persen) belum lagi toko ret5ail modern yang bertumbuh pesat di Kota Pekanbaru.

Kita juga menyoroti pengangkutan sampah dengan melibatkan pihak ketiga, karena sejak melakukan kerja sama, pengelolaan sampah hanya sebatas pengangkutan tanpa edukasi dan pemilahan dengan menyapkan tempah yang sesuai regulasi.

Selanjutnya Abdul Ghofar jelaskan soal tantang pengelolaan sampah di perkotaan, pertama, Soal Single Use Plastic Reduction; kedua, kampanye soal Zero Waste Cities; ketiga, kampanye soal Sampah Impor, di tahun 2019 sempat terjadi  kasus sampah import yang masuk ke pelabuhan-pelabuhan besar termasuk di pelabuhan Tanjung Priok, kemudian ada di Tanjung Mas, dll. Keempat, kampanye soal Countering False Solution, jadi Pemerintah menawarkan berbagai solusi untuk mengatasi permasalahan sampah salah satunya yakni Pembangkit Listrik Tenaga Sampah yang ada di 12 Kota berdasarkan Perpres 35/2018 jadi AZWI mau kampanye nih bahwa false solution (solusi semu) seperti PLTS itu tidak layak untuk diteruskan; kelima, Upstream Advocacy, kita campaign soal industri petro chemical seperti Chandra Asri anak usahanya Barito Group; dan keenam, kampanye Just Transition bahwa bicara sampah itu tidak hanya menyerang masyarakat tetapi industri terutama industri di level hulu dan hilir, dilevel tengah juga perlu diatur.

Dari 500 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ada di Kabupaten dan Kota di Indonesia, mayoritas overdamping hampir 70 persen termasuk di Kota Pekanbaru yang dalam dokumen resmi menggunakan kontrol refill tapi pada prakteknya masih overdamping jadi ada lahan kemudian truck-truck masuk langsung ditimbang tidak melakukan pemilahan seperti sampah organik menjadi kompos namun tercampur dengan sampah lainnya kemudian menggunung dan lama terurai jadi masalah lingkungan, overload dan rentan bencana seperti TPA di Leuwi Gajah itu terjadi longsoran. Selain itu masalah kekurangan lahan yang semakin luas, itu terkait pengelolaan sampah kita yang masih numpuk di TPA. “Yang dilakukan sebelum pengurangan yaitu tolak dulu kalau bisa kita tolak kantong plastik sekali pakai lalu kurangi, lalu gunakan kembali, lalu daur ulang, lalu masuk ke residu jadi kampanyenya harusnya yang lebih prioritas itu di atas yang lebih maksimal pengurangannya,” kata Abdul Ghofar.

Pada bagian akhir, Sri Arliana menjelaskan dari sudut pandang budaya hukum. Ia mengatakan hukum atau aturan yang ideal adalah apa yang masyarakat inginkan itu yang seharusnya dan kemampuan aparat penegak hukum masih kurang dan saya sebagai akademisi mengatakan penegakan hukum di Indonesia tajamnya ke bawah tumpul ke atas. Tetapi apa yang harus masyarakat inginkan sama seperti Perda tentang Pengelolaan Sampah itu pasti ada kepentingan, ada kepentingan disana yaitu kepentingan swasta dan kepentingan sponsor lainnya. Kemudian tentang budaya hukum, “percuma kita berkoar-koar Buanglah sampah pada tempatnya, mengkritik kebijakan pemerintah, tetapi budaya hukum yang berasal dari tingkat terendah sendiri (dari diri sendiri, dari rumah tangga) itu juga sangat rendah,” ucap Sri Arliana

Pada dasarnya penegakan hukum linkungan ini menurutnya tidak hanya bicara soal hukum publik, tapi juga hukum priva. Kita bisa melakukan gugatan ganti rugi kepada para pihak yang melakukan pencemaran lingkungan. Ia meminta bekerjasama dengan para akademisi memberikan pencerahan kepada mahasiswa supaya di kampus bukan hanya sebuah seminar tetapi juga semacam gerakan, “Untuk pelestarian lingkungan dari sampah kalau secara praktek satu kelemahan dari pada penegakan hukum yaitu tidak adanya figur contoh dari sosok pemimpin.”

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini