WARGA PUNGKAT MEMBELA KAMPUNG:
“MELAWAN KORUPSI DAN MENEGAKKAN HAK UNTUK HIDUPâ€
TEMBILAHAN. SENIN 8 DESEMBER 2014–Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Yudisial harus memantau langsung proses peradilan di PN Tembilahan.
Sebab  21 warga Desa Pungkat yang didakwa melakukan pembakaran alat berat milik PT Setia Agrindo Lestari berupa 9 alat berat berupa excavator, dua buah pondok dan satu unit mesin las di parit 9 dan parit 10 Pinang Seribu, Desa Belantaraya, Kecamatan Gaung, Kabupten Indragiri Hilir pada 17 Juni 2014, mengandung unsur perbuatan melawan hukum, korupsi, intimidasi terhadap warga Pungkat hingga pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polres Inhil dan Polda Riau.
Sebelum mengadili ke 21 terdakwa, majelis hakim perlu mengetahui duduk perkara tersebut:
Warga mengkalim, kebun kelapa dan pinang dan hutan Desa Pungkat tempat warga mengambil kayu untuk pembuatan kapal masuk dalam izin PT SAL. Karena takut kehilangan mata pencaharian mereka sebagai pekebun kelapa dan pinang dan pembuat kapal, ratusan warga Pungkat melakukan protes pada PT SAL yang mereka temukan telah membawa alat berat ke parit 9 dan parit 10[1].
Masyarakat meminta PT SAL menghentikan kegiatannya. Tak dihiraukan PT SAL. Masyarakat mengadu ke DPRD Inhil, Bupati, Dandramil dan ke Polres Inhil. Beberapa kali pertemuan digelar dengan perusahaan. Hingga akhirnya DPRD, Bupati dan Babinsa Pungkat menandatangani kesepakatan dengan warga dan perusahaan agar aktifitas operasional dihentikan sementara waktu sampai ada penyelesaian dengan warga. Lagi-lagi PT SAL tak menghiraukan himbauan tersebut, malah melakukan aktifitas.
Bahkan lahan berupa hutan alam milik HPH-HTI PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa (Grup APP) dan lahan HTI CV Bina Keluarga juga masuk dalam areal PT SAL.
INTIMIDASI POLISI TERHADAP WARGA PUNGKAT
Rabu 6 Agustus 2014, setidaknya 200 Polres Indragiri Hilir (Inhil) lengkap dengan senjata lars panjang, memakai helm, pentungan dan perisai, polisi itu menapak kaki di Desa Pungkat. Satu persatu warga ditangkap setelah salah seorang polisi membacakan daftar nama-nama. Polisi langsung mendatangi rumah warga—menggeledah, masuk secara paksa, merusak rumah—bahkan menodongkan senjata laras panjang ke muka warga yang diduga rumah tersangka.
Polisi mengatakan bila orang yang melarikan diri tidak menyerahkan diri, aparat kembali masuk ke Desa Pungkat dengan jumlah lebih besar. Polisi juga mengancam pada istri salah seorang warga yang kabur. Bila suaminya tak menyerahkan diri, sang istri akan dijadikan sebagai gantinya dan dibawa ke kantor polisi.
Perbuatan polisi juga berakibat pada dua warga Pungkat berinisial NH (Perempuan, 18 tahun) dan SH (Lelaki, 27 tahun) terkena tekanan psikologi. NH bahkan tidak lagi bisa mengenali kedua orang tuanya. NH kerap berteriak dari dalam rumah. SH hanya mengurung diri di dalam kamar.
IZIN PT SAL MENGANDUNG UNSUR MELAWAN HUKUM
Saat tim mengambil titik GPS di TKP, hasilnya penebangan hutan dan lokasi alat berat PT SAL berada di luar izin lokasi seluas 17.095 ha yang diberikan oleh Bupati Indragiri Hilir tahun 2013. Dan PT SAL juga belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Sementara PT SAL sudah menebang kayu hutan di parit 9 dan parit 10.
Menurut keterangan warga yang kami temui, PT SAL tak pernah melakukan sosialisasi AMDAL. Warga tidak tahu soal AMDAL. Namun, Kepala Desa memastikan PT SAL sudah melakukan sosialisasi AMDAL kepada “warganyaâ€. Beberapa unsur perbuatan melanggar hukum lainnya:
PT SAL mengajukan Izin Lokasi seluas sekira 2.000 ha pada 30 Mei 2012. Lantas 1 Agustus 2012, BP2MPD Inhil memberikan seluas 17.095 hektar. Dan pada 31 Oktober 2013 atau sebulan jelang dia digantikan oleh Bupati terpilih, Indra Mukhlis Adnan (Bupati Inhil periode 2009-2013) menerbitkan IUP kepada PT SAL.[2] Areal seluas 17.095 hektare tersebut bertentangan dengan sejumlah aturan yang ada.
Hasil investigasi eyes on the forest[3] areal tersebut tumpang tindih dengan izin HPH HTI PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa dan PT Bina Keluarga jelas bertentangan dengan peraturan menteri kehutanan terkait di atas izin IUPHHKHT atau IUPHHKHA tidak boleh ada izin atau tidak dibebani izin. Faktanya, hasil temuan tim Eyes on the forest menemukan lokasi PT SAL berada di atas izin dua perusahaan yang sudah berdiri jauh sebelum PT SAL berdiri. PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa dapat izin dari SK Menhut SK.109/Kpts-II/2000 dengan luasareal 44.595 ha, yang kemudian mendapatkan ketetapan areal melalui Kepmenhut: SK.59/Menhut-II/2013, areal MSK menjadi seluas ± 44.433,66 Ha, yang terletak di kelompok Hutan Sungai Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.[4]
Izin PT SAL Juga bertentangan dengan Inpres SBY Nomor 06 tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.[5] Berdasarkan peta izin PT SALÂ dioverlay dengan peta PIPIB, PT SAL masuk dalam Revisi PIPIB 1-6. Dalam Izin PT SAL seluruhnya berada di atas hutan rawa gambut yang kedalamannya lebih dari tiga meter bahkan masih tersisa hutan alam yang tersisa.[6]
Izin lokasi PT SAL No:503/BP2MPD-IL/VIII/2012/05 tentang Pemberian izin lokasi kepada PT SAL untuk perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Gaung Kabupaten Inhil. Terasa janggal. Awalnya lokasi di Kecamatan Tempuling, lantas berubah menjadi Kecamatan Gaung saat warga mengadukan ke DPRD Inhil.[7]
PELANGGARAN HAM OLEH POLISI
Polisi telah melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap HAM).
Pasal 8 ayat (2) Perkap HAM disebutkan dalam melangsungkan tugasnya kepolisian wajib menerapkan sekurang-kurangnya menghormati martabat dan HAM setiap orang; bertindak secara adil dan tidak diskriminatif; berperilaku sopan; menghormati norma agama, etika, dan susila; dan menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan HAM.
Berdasarkan analisis pelanggaran prosedural upaya paksa, diketahui bahwa aparat Polres Inhil yang dibantu pasukan brimob tidak memenuhi poin-poin di atas dengan cara menodong-nodongkan senjata ke beberapa orang, memasuki rumah warga tanpa memperlihatkan surat perintah/ izin dan tanpa persetujuan pemilik rumah. Norma-norma setempat dan budaya lokal dikangkangi dengan otoritas dibalik seragam yang dibeli dengan sumbangan pendapatan rakyat.
Kekuatan modal (PT. SAL) tidak dapat dilepaskan dari permasalahan ini. Konflik land tenure, asal muasal permasalahan yang tidak disikapi dengan bijak oleh Negara dengan berusaha bertindak mencegah pembakaran alat berat, malah disalahartikan oleh otoritas kepolisian dengan tindakan sewenang-wenang. Untuk mewujudkan peran Negara dalam menyelesaikan persolan pelanggaran HAM[8] di Desa Pungkat, maka Komnas HAM harus melakukan tugas pemantauannya (sebagaimana di atur dalam Pasal 89 ayat (3) UU HAM).
TUNTUTAN
Sempena Hari Anti Korupsi dan Hak Asasi Manusia, kami mendesak kepad:
- Komisi Pemberantasan Korupsi, agar segera menyidik terkait penerbitan IUP untup PT SAL oleh Indra Mukhlis Adnan (mantan Bupati Indragiri Hilir).
- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, agar segera memeriksa polisi dan PT SAL yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM
- dan Komisi Yudisial, agar memantau dan memeriksa hakim yang mengadili perkara 21 terdakwa. Hakim rentan melanggar Kode Etik dan Prilaku Hakim selama perkara ini diperiksa di PN Tembilahan.
Koalisi:
WALHI RIAU
JIKALAHARI
RIAU CORRPTION TRIAL
[1] Menurut warga dan Kepala Desa, parit 9 dan parit 10 masuk dalam Desa Pungkat.
[2] Dokumen terlampir saat pertemuan warga Pungkat dengan DPRD Inhil.
[3] Tanggal 26-29 Agustus 2014
[4] Lihat izin PT Mutiawa Sabuk Khatulistiwa
[5] Inpres pertama No 10 tahun 2011, lantas Inpres tersebut diperpanjang melalui Inpres No 6 tahun 2013
[6] Analisis citra EoF terlampir dalam laporan ini
[7] Wawancara dengan ZI warga yang mengikuti pertemuan dengan DPRD. Warga memiliki surat asli.
[8] Pengertian pelangaran HAM dapat dilihat di ketentuan Pasal 1 angka 6 UU HAM