Beranda Siaran Pers Catatan Diskusi/ Kegiatan Ketidakadilan Gender: Dampak Krisis Iklim dan Perppu Cipta Kerja terhadap Perempuan

Ketidakadilan Gender: Dampak Krisis Iklim dan Perppu Cipta Kerja terhadap Perempuan

445
0

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau

Pekanbaru, 18 Maret 2023–WALHI Riau menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Ketidakadilan Gender: Dampak Krisis Iklim dan Perppu Cipta Kerja terhadap Perempuan”. Diskusi ini diadakan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia (HPI) yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2023.  HPI tahun ini mengangkat tema Embrace Equity yang artinya Rangkul Keadilan. WALHI Riau berharap diskusi ini bisa memberi ruang untuk publik agar bisa memahami dampak perubahan iklim dan disahkannya Perppu Cipta Kerja terhadap perempuan.

Ada beberapa narasumber dengan latar belakang berbeda yang mengisi diskusi ini. Narasumber pertama, Rina Noviana dari Extinction Rebellion Riau. Rina memaparkan penyebab krisis iklim dan dampaknya terhadap perempuan. Pemateri kedua, Umi Ma’rufah, Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan WALHI Riau, memaparkan mengenai bagaimana perempuan menghadapi dampak krisis iklim dan Perppu Cipta  dan pengaruh budaya patriarki terhadap upaya pembangunan gerakan perempuan di Riau. Kemudian narasumber yang ketiga Siti Zulaika, Staf Advokasi Kebijakan Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan, memaparkan mengenai bagaimana krisis iklim dan Perppu Cipta Kerja memperparah ketidakadilan terhadap perempuan dan caranya membangun gerakan perempuan untuk merespon hal tersebut.

Diskusi ini dilaksanakan di Rumah Gerakan Rakyat (WALHI Riau) dan dihadiri oleh para pengurus lembaga anggota WALHI Riau, jaringan, masyarakat secara umum, mahasiswa, serta aktivis lingkungan. Hadir juga salah seorang tokoh masyarakat Riau, Hj. Azlaini Agus. Ringkasan paparan masing-masing narasumber dapat disimak pada bagian di bawah:

  1. Rina Noviana (Extinction Rebellion/XR Riau)

Sebagai pengantar, Rina menjelaskan tentang mengapa kita perlu membicarakan masalah krisis iklim. Menurut Rina, meskipun krisis iklim sudah banyak dibahas oleh berbagai kalangan, namun tidak banyak yang mengambil tindakan untuk menghentikannya. Rina mengajak kaum muda untuk bergerak bersama-sama menyuarakan isu ini.

Krisis iklim sepatutnya menjadi perhatian karena banyak bencana-bencana yang melanda beberapa daerah yang diakibatkan oleh krisis iklim. Rina mencontohkan seperti bencana banjir bandang di Indragiri Hilir, salah satunya disebabkan oleh masalah krisis iklim.

Menurut Rina, krisis iklim bukan hanya persoalan lingkungan. Menurutnya, krisis iklim berpengaruh pada beberapa isu lain seperti isu ekonomi, kesehatan, keadilan sosial, dan isu HAM lainnya. Rina juga menyebutkan salah satu pihak yang paling terdampak akibat krisis iklim ini adalah perempuan. Sistem patriarki membuat perempuan berada pada posisi yang lemah dalam menghadapi krisis iklim.

“Misalnya dalam hal kontrol dan akses dalam pengambilan keputusan, perempuan dianggap tidak perlu ikut berkontribusi untuk membuat kebijakan. Di samping itu, perempuan juga kerap kali mengalami keterbatasan untuk berpendidikan dan menuntut ilmu, padahal tanpa ilmu pengetahuan perempuan akan sulit memahami krisis iklim yang mereka hadapi,” jelas Rina.

Menyambung hal tersebut, Rina juga menjelaskan dampak yang ditimbulkan akibat krisis iklim terhadap perempuan di antaranya yaitu kekerasan seksual dan pernikahan dini. Menurutnya, perempuan dari kalangan keluarga miskin kerap kali mengalami dua hal ini yang diitimbulkan akibat kondisi ekonomi keluarganya.

“Krisis iklim telah menyebabkan gagal panen di banyak tempat. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, sebab beberapa keluarga berpikiran untuk menikahkan anaknya. Dengan begitu maka akan akan berkurang beban keluarga tersebut, sehingga terjadilah pernikahan dini,” Jelas Rina.

Di akhir paparannya, Rina mengajak audiens untuk menyatakan kebenaran dan fakta. “Kita semua setara, tidak perlu menjadi pakar atau malaikat untuk menyatakan kebenaran, karena semua orang memiliki hak yang sama untuk bergerak dan bersuara,” tegas Rina.

  1. Umi Ma’rufah ( Kordinator Riset dan Kebijakan WALHI Riau)

Sebagai pembuka, Umi menyampaikan isu perempuan tidak hanya masalah perempuan semata, melainkan masalah seluruh umat manusia, semua orang, baik laki-laki maupun perempuan.

Senada dengan Rina, Krisis Iklim sangat berpengaruh terhadap sistem kehidupan manusia dan perempuan itu sendiri. Umi mengelompokkan dampak krisis iklim meliputi beberapa poin penting, yaitu (1) Krisis Air; (2) Krisis Pangan; (3) Krisis Kesehatan; (4) Bencana Ekologis.

Selanjutnya Umi memaparkan Keterkaitan krisis iklim dan Perppu Cipta Kerja. UU Cipta Kerja No.11 Tahun 2020 yang diputuskan inkonstitusional bersyarat oleh MK tidak berlaku sampai syarat-syarat yang belum terpenuhi sampai terpenuhi.  Namun, pemerintah tetap memberlakukan UU Cipta Kerja dengan cara menerbitkan Perppu Cipta Kerja meskipun banyak masyarakat sipil yang menolaknya dikarenakan banyak bertentangan dengan hak-hak hidup manusia, lingkungan dan lain sebagainya.

“Salah satu alasan mendesak pemerintah dalam menerbitkan Perppu Cipta Kerja adalah perubahan iklim. Namun, bukannya mengatasi perubahan iklim, pemerintah justru fokus pada masalah menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia dan kenaikan inflasi dengan pembukaan investasi secara besar-besaran dan kemudahan perizinan. Perppu Cipta Kerja bukannya berusaha menghentinkan laju perubahan iklim melainkan menyebabkan peningkatan laju investasi yang justru memperparah krisis iklim yang akhirnya merugikan masyarakat dan lingkungan hidup,” Jelas Umi.

Selanjutnya, Umi memaparkan keterkaitan kerentanan perempuan atas krisis iklim. Menurut Umi Perempuan adalah kelompok yang paling rentan terkena dampak dari berbagai persoalan bencana ekologis. Dalam struktur masyarakat yang sangat patriarkis, perempuan seringkali ditempatkan di wilayah domestik. Akibatnya ketika terjadi bencana ekologis, perempuan menanggung beban ganda. Selain harus merawat dan mengurus pekerjaan rumah, ia juga bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga.

Selain sistem sosial yang masih patriarki, kerentanan yang dialami perempuan juga diperparah oleh sistem kapitalisme yang didukung oleh negara. “Negara masih memberikan ruang bagi pemilik modal yang besar dengan harapan dapat menyejahterakan rakyat. Namun pada kenyataannya hal itu justru menjadi penyebab ketimpangan dan menempatkan perempuan sebagai korban yang paling rentan,” kata Umi.

Sebagai penutup, Umi mengajak audiens untuk memperkuat solidaritas. Menurutnya, kekuatan perlawanan atas sistem yang menindas membutuhkan kesadaran dan peran setiap orang dan kelompok yang termarjinalkan dan menjadi korban dari sistem tersebut. Solidaritas antar kelompok masyarakat miskin, anak muda, perempuan, buruh, aktivis lingkungan sangat dibutuhkan dalam membangun kekuatan tersebut.

“Kita pasti memiliki kontribusi yang tidak sama dalam hal perjuangan, namun apapun itu sangat dibutuhkan untuk mendukung dan saling bersolidaritas untuk memperkuat gerakan kita, agar apa yang kita inginkan dan suarakan didengar oleh para pembuat kebijakan,” tutup Umi.

  1. Siti Zulaika (Seknas Solidaritas Perempuan)

Siti Zulaika atau Juli menjelaskan bagaimana krisis iklim dan Perppu Cipta Kerja memperparah ketidakadilan terhadap perempuan. Menurutnya hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) konstruksi sosial yang masih menguat; (2) jauhnya pengakuan terhadap pengalaman dan peran perempuan yang memiliki kemelekatan yang sangat erat dengan alam; dan (3) kecenderungan politik kebijakan semakin mengobjektifikasi, memarjinalkan, memiskinkan perempuan.

Juli juga sepakat bahwa sistem patriarki dan fundamentalisme yang masih mengakar kuat dalam sistem-sistem ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

“Dilihat dari struktur adat misalnya, pemerintah bahkan di tingkat desa masih mementingkan peran laki-laki. Hal ini bisa dilihat dari dalam pengambilan keputusan, suara laki-laki didengarkan baik di level keluarga maupun komunitas. Lalu terkait tata kelola sumber dayanya pasti didominasi oleh laki-laki dan perempuan masih dinomorduakan,” kata Juli.

Juli juga menambahkan, program yang diberikan pemerintah dalam menangani iklim justru menjadi beban bagi perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan dianggap yang paling banyak menyumbang sampah rumah tangga dan secara reproduksi kebutuhan setiap bulannya membutuhkan banyak pembalut. Ini menjadi dasar pemerintah meletakkan kesalahan terhadap perempuan sehingga perempuan yang harus bertanggungjawab atas masalah tersebut.

“Ketika perempuan keluar rumah ikut program iklim, lalu menanam tanaman di pekarangan dan mengikuti program sampah itu diklaim sebagai partisipasi perempuan. Hal ini menjadikan beban kerja bagi perempuan, sedangkan pemerintah mendapatkan tenaga kerja gratis,” Kata Juli.

Juli juga memaparkan bagaimana membangun gerakan perempuan untuk merespon situasi krisis iklim. Menurutnya, membangun inisiatif perempuan sangat penting untuk mengatasi krisis iklim. Hal ini sangat perlu dilakukan karena negara tidak pernah mengakui inisiatif-inisiatif peranan perempuan untuk mengatasi krisis iklim saat ini terutama dalam hal pangan.

Selain itu, Juli menambahkan ada 3 prinsip yang bisa diterapkan dalam mendorong perempuan beradvokasi. Pertama, mendorong pengakuan, penghargaan, dan kesadaran kritis  berdasarkan kearifan lokal yang dimiliki. Kedua, procedural justice, yaitu memastikan bahwa perempuan juga bisa menjadi subjek pengambil keputusan, meskipun ia tidak berada dalam struktur adat, pemerintahan atau struktur lembaga lainnya. Terakhir, distributive justice, yaitu memastikan bahwa setiap perempuan memiliki sumber daya, kuasa, teknologi, dan pengetahuan sendiri, sehingga dapat meminimalisir stigma dan pelabelan yang dialami oleh perempuan.

Diskusi Interaktif

Usai pemaparan narasumber, Lisa selaku moderator membuka sesi tanya jawab.  Sesi tanya jawab diikuti oleh beberapa pertanyaan dari peserta seperti bagaimana membangun pemahaman dan pendampingan dan penguatan basis untuk keterlibatan perempuan.

Tanggapan lain juga disampaikan oleh Hj. Azlaini Agus. Menurutnya, isu ketidakadilan gender dari dulu selalu ada, namun dengan perkembangan situasi dan masalah yang berbeda. Karena itulah diskusi mengenai topik tersebut harus selalu dilakukan. Azlaini juga menambahkan, diskusi yang membahas tentang perempuan menolak Perppu Cipta Kerja juga harus dilakukan secara berkala.

Menanggapi pertanyaan peserta sebelumnya, Azlaini menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat atau perempuan secara khusus harus dimulai dengan pendekatan di dalam sistem masyarakat tersebut, lalu mengembangkannya. “Jika kita membawa pemikiran kita dari luar ini ke dalam system mereka itu sama saja dengan menjajah bukan memberdayakan,” tutur Azlaini.

Sebagai penutup diskusi ini, masing-masing narasumber sepakat untuk terus mengkampanyekan isu krisis iklim. WALHI Riau tentunya akan terus mendukung dan melakukan upaya untuk menyuarakan keadilan gender, keadilan iklim, dan keadilan ekologis yang menjadi nilai-nilai WALHI Riau. Juli juga menambahkan, selama sistem di negara masih kapitalistik maka penindasan terhadap perempuan tidak mudah untuk berakhir. Kita harus bisa melihat ketidakadilan gender yang dialami perempuan, khususnya di desa-desa di mana pembangunan gencar dilakukan.

Diskusi selengkapnya dapat disimak di https://www.youtube.com/watch?v=96Y-j4MQjJk&t=5805s dan bahan paparan para narasumber dapat diunduh di tautan di bawah.

 

Artikel SebelumnyaHari Perempuan Sedunia 2023: Rangkul Keadilan Gender untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Adil
Artikel SelanjutnyaWALHI Riau Tagih Janji Gubernur Riau Cabut IUP PT Logomas Utama!

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini