Pekanbaru, 27 Mei 2022— Pada 1 Maret 2022, WALHI Riau mengirim surat kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Siak guna mengetahui laju redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) di areal kerja Izin Usaha Perkebunan (IUP) PT Wana Subur Sawit Indah (WSSI). Surat balasan dari instansi tersebut memperlihatkan lambatnya laju TORA di areal kerja IUP PT WSSI. Hasil investigasi WALHI Riau pada periode Maret 2022 juga membuktikan program redistribusi TORA di lokasi tersebut masih jauh dari harapan masyarakat.
Surat balasan Kantor Pertanahan Kabupaten Siak menyebut Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Siak pada tahun 2021 melakukan redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dari IUP PT Wana Subur Sawit Indah (WSSI) sebanyak 1.351 bidang dengan luas 1.716 hektar. Rinciannya, 355 bidang di Kampung Buatan I dan 996 bidang di Kampung Buatan II. Pelaksanaan redistribusi TORA di Kampung Sri Gemilang dan Kampung Rantau Panjang belum dilangsungkan karena belum dilakukan pendataan.
Fandi Rahman, Manager Akselerasi Perluasan Wilayah Kelola Rakyat WALHI Riau menyebut walau masih meninggalkan banyak catatan dan kritik, pelaksanaan redistribusi TORA di areal kerja PT WSSI patut diapresiasi.
Catatan sekaligus temuan lapang WALHI Riau terhadap pelaksanaan redistribusi TORA tersebut, yaitu:
1. Kampung Buatan I
Redistribusi TORA di Kampung Buatan I seluas 355 Bidang. Hal ini berbeda dengan usulan masyarakat seluas 283 ha. Dari 283 ha tersebut hanya 227 ha yang dikeola oleh masyarakat Kampung Buatan I karena 56 ha sudah dikelola masyarakat secara mandiri. Penggunaan alat ukur bidang membuat masyarakat bingung. Masyarakat lazim menggunakan alat satuan luas hektar untuk ukuran tanah. Kondisi ini membuat masyarakat meragukan validitas data Kantor Pertanahan Siak, terlebih data yang disampaikan sebatas lisan. Ditambah, sertifikat Hak Milik redistribusi per Maret 2022 belum diserahkan, sehingga transparansi informasi proses redistribusi diragukan.
Catatan lainnya, masyarakat Kampung buatan I tidak ingin bekerjasama dengan PT WSSI. Masyarakat Kampung Buatan I tidak percaya lagi dengan PT WSSI. Hal ini disebabkan oleh dua alasan, yaitu (1) PT WSSI tidak memenuhi janji membangun kebun plasma sesuai perjanjian pada tahun 2013; dan (2) PT WSSI belum memenuhi perjanjiannya dengan masyarakat Kampung Buatan I dan Buatan II terkait pembagian hasil penjualan kayu pada lahan IPK PT WSSI. Informasi masyarakat, paling tidak PT WSSI sudah megeluarkan ±27.000 ton kayu akasia yang diangkut oleh 18 kapal tongkang. Namun masyarakat Kampung Buatan I dan Buatan II belum juga menerima bagi hasil penjualan.
2. Kampung Buatan II
Di kampung ini telah dilangsungkan redistribusi TORA seluas ±996 bidang yang 60 ha di antaranya telah ditanami sawit pada Februari 2022. Selanjutnya, 200 ha di antaranya telah dilakukan pembersihan lahan. Sayangnya, proses penanaman kelapa sawit belum dilanjutkan kembali. Hasil observasi dan wawancara dengan masyarakat pengerjaan pembibitan untuk lokasi redistribusi TORA tersebut paling cepat dapat dilakukan dalam waktu satu setengah tahun. Kerja sama antara PT WSSI dengan masyarakat Kampung Buatan II dilakukan melalui koperasi berdasarkan pola KKPA.
Selain kerjasama pengerjaan kebun kelapa sawit, masyarakat Kampung Buatan II juga memiliki kerjasama pembagian hasil penjualan kayu di lahan IPK. Perjanjian tersebut menentukan PT WSSI harus membayarkan sebanyak Rp 30.000/ton kepada masyarakat Kampung Buatan II. Namun hingga saat ini setelah PT WSSI megeluarkan ±27.000 ton kayu akasia yang diangkut oleh 18 kapal tongkang, PT WSSI belum membayarkan bagi hasil penjualan kayu kepada Kampung Buatan II.
3. Kampung Sri Gemilang
Masyarakat Kampung Sri Gemilang menolak TORA di lokasi eks Plasma PT WSSI. Penolakan masyarakat terjadi karena masyarakat beranggapan bahwa lahan yang telah mereka kelola secara mandiri akan dibagikan kepada orang lain. Di sisi lain, jumlah Kepala Keluarga (KK) Kampung Sri Gemilang adalah sebanyak 200 KK, sementara luas lahan TORA hanya 160 ha. Jika dibagi jumlah KK dengan luas lahan, maka masyarakat akan kehilangan lahan yang telah mereka kelola selama bertahun-tahun. Selain itu, sebagian areal kerja IUP PT WSSI di Kampung Sri Gemilang telah dikuasai oleh PT VAN.
4. Kampung Rantau Panjang
Permasalahan TORA di Kampung Rantau Panjang hampir sama dengan Sri Gemilang. Lahan TORA Kampung Rantau Panjang sudah dikelola oleh masyarakat dan PT Van. Hal ini didukung oleh masyarakat Kampung Rantau Panjang yang mengelola kebun di lahan TORA. Menurut penjelasan masyarakat, perkebunan tersebut sudah dikelola masyarakat jauh sebelum PT WSSI mengelola perkebunan mereka. Pernyataan masyarakat dikuatkan oleh tegakan perkebunan sawit masyarakat yang sudah berusia ±10 tahun.
“Belum validnya data redistribusi, belum dipenuhinya komitmen pembangunan sawit masyarakat dan keenganan masyarakat bermitra, hingga belum dibayarkannya komitmen bagi hasil penjualan kayu IPK membuat hubungan PT WSSI dengan masyarakat kompleks. Hal ini sekaligus memperlihatkan belum maksimalnya implementasi redistribusi TORA di lokasi tersebut,” sebut Fandi. Selain persoalan redistribusi tersebut, investigasi WALHI Riau juga menemukan lokasi tebangan IPK PT WSSI rentan terbakar, namun, tidak ditemukan sarana dan prasarana pencegahan kebakaran.
Evalusi Pelepasan Kawasan Hutan Areal Kerja IUP PT WSSI
Legalitas hak atas tanah areal kerja IUP PT WSSI telah bermasalah sejak Juli 2004. Berdasarkan analisis dokumen yang dilakukan WALHI Riau ditemukan dua fakta penting. Pertama, IUP PT WSSI terbit pada 21 Juli 2001 dan dalam diktum Kedua angka 1 keputusan tersebut disebutkan PT WSSI wajib menyelesaikan hak atas tanah selambat-lambatnya tiga tahun sejak IUP diterbitkan.
Kedua, memperhatikan diktum keenam dalam Keputusan Menteri Kehutanan tentang pelepasan kawasan hutan untuk PT WSSI seluas 6.096 ha tanggal 1 Nopember 2005, dinyatakan PT WSSI wajib menyelesaikan Hak Guna Usaha (HGU) dalam waktu tiga tahun. Konsekuensi tidak memenuhi kewajiban tersebut adalah pencabutan pelepasan kawasan hutan dan dikembalikan ke Departemen Kehutanan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Dua hal di atas memperlihatkan terdapat keganjilan dalam proses penerbitan keputusan pelepasan kawasan hutan dan masih eksisnya perkebunan kelapa sawit PT WSSI.
Pada diktum ketujuh keputusan pelepasan kawasan hutan disebutkan selama lokasi yang dilepaskan belum mendapat HGU, maka pengawasan dan pengendalian kawasan tersebut merupakan kewenangan Departemen Kehutanan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Selanjutnya, pada diktum kedelapan, proses penyelesaian HGU harus dilaporkan kepada Badan Planologi Kehutanan (Direktorat Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan) setiap 6 bulan. Sedangkan, pada diktum kesepuluh keputusan pelepasan kawasan hutan disebutkan 2.375 ha di areal yang dilepaskan dilarang dilakukan pembukaan lahan.
Hubungan antara diktum ketujuh dan kesepuluh menyajikan indikasi pelanggaran dalam penerbitan Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Riau Nomor: Kpts.18/DPMPTSP/2021 tentang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) Dalam Rangka Penyiapan Lahan Untuk Penanaman Kelapa Sawit Pada Areal Kerja IUP PT. WSSI seluas ± 1.577 ha dengan target produksi sebesar 206.752,67 meter3.
Indikasi pelanggaran penerbitan IPK tersebut di antaranya, yaitu (1) tumpang tindih luas areal ± 1.577 ha dengan areal yang dilarang oleh keputusan pelepasan kawasan hutan; (2) penerbitan IPK sepatutnya harus dikoordinasikan langsung dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak sebatas Balai Pengelolaan Hutan Produksi Wilayah III karena lokasi belum mempunyai legalitas hak atas tanah (HGU); dan (3) penerbitan keputusan IPK berada dalam tenggang waktu berlakunya Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit (Inpres). Inpres tersebut mengintruksikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan evaluasi pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang belum dikerjakan/dibangun dan masih berupa hutan produktif agar ditetapkan kembali sebagai kawasan hutan.
Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Keadilan Iklim WALHI Riau berujar seharusnya ada mekanisme review terhadap penerbitan keputusan pelepasan kawasan hutan tersebut. Karena waktu IPK juga sudah habis, maka Pemerintah Provinsi Riau tidak boleh melakukan perpanjangan terhadap IPK tersebut.
“Merujuk pernyataan Presiden pada Januari 2022 lalu dan beberapa Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait pencabutan serta evaluasi perizinan sektor kehutanan, sudah saatnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk bersikap tegas kepada PT WSSI. Mengoreksi kebijakan yang tidak dijalankan, yang tidak produktif, dan tidak sesuai dengan peruntukan serta peraturan sudah sesuai dengan perintah Presiden,” tambah Eko.
Selain masalah legalitas hak atas tanah, pelaksanaan komitmen pelepasan kawasan hutan, dan aspek sosial, PT WSSI juga sedang berada dalam pengawasan. Maka berdasarkan temuan dan analisis di atas, WALHI Riau meminta kepada:
1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan evaluasi dalam bentuk pencabutan atau penciutan terhadap luasan keputusan pelepasan kawasan hutan untuk PT WSSI;
2. Menteri Pertanian untuk konsisten terhadap komitmen peninjauan ulang IUP PT WSSI sebagaimana Surat Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian pada 22 Oktober 2021. Konsekuensi surat tesebut menyatakan akan mencabut IUP PT WSSI apabila tidak memenuhi kewajibannya;
3. Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN untuk menghentikan proses penerbitan legalitas hak atas tanah (HGU) PT WSSI.
Narahubung:
Fandi Rahman (085271603790)
Eko Yunanda (081276552376)