Beranda Siaran Pers Pembukaan Lubuk Larangan di Desa Cipang Kanan, Sebuah Praktik Konservasi Lokal

Pembukaan Lubuk Larangan di Desa Cipang Kanan, Sebuah Praktik Konservasi Lokal

552
0

Pekanbaru, 26 Mei 2022—Masyarakat Adat Desa Cipang Kanan, Kecamatan Rokan IV Koto, Kabupaten Rokan Hulu menggelar kegiatan adat pembukaan Lubuk Larangan. Kegiatan yang dilangsungkan pada Selasa, 24 Mei 2022 dihadiri ribuan orang. Tidak hanya masyarakat Desa Cipang Kanan, masyarakat dari desa-desa sekitar, luar kota hingga masyarakat dari luar Provinsi Riau pun hadir memadati area sungai Rokan di Desa Cipang Kanan.

Pembukaan Lubuk Larangan adalah kegiatan menangkap ikan secara bersama-sama di sungai desa. Ikan yang ditangkap merupakan ikan yang dilarang ditangkap di luar waktu Pembukaan Lubuk Larangan. Kegiatan ini biasanya diadakan setiap tahun. Selain di Cipang, Kanan, traadisi seperti ini juga dipraktikkan oleh masyarakat wilayah lain di Provinsi Riau, khususnya masyarakat adat yang masih memegang tradisi adat sungai, seperti di Kabupaten Rokan Hulu dan Kampar.

Kegiatan Adat Pembukaan Lubuk Larangan menjadi salah satu tradisi besar tahunan bagi masyarakat Desa Cipang dan sekitarnya. Pembukaan Lubuk Larangan terakhir dilakukan pada tahun 2019. Namun, dikarenakan berbagai kendala seperti hujan yang tiba-tiba turun sehingga menyebabkan air sungai meluap, Pembukaan Lubuk Larangan tertunda hingga tiga tahun.

Rangkaian kegiatan Pembukaan Lubuk Larangan meliputi pendaftaran, pembacaan doa dan tahlil, dan penebaran tuba/tubo (sebuah akar tanaman hutan yang berfungsi untuk membuat ikan pingsan). Pendaftaran dibedakan antara masyarakat asli Desa Cipang, masyarakat luar lokal, dan masyarakat luar non lokal. Masyarakat asli membayar sebesar Rp10.000, masyarakat luar lokal sebesar Rp50.000, dan masyarakat luar non lokal sebanyak Rp100.000. Apabila ada yang ikut kegiatan tanpa membayar disebut mencuri, sehingga dikenakan denda sebesar Rp500.000. Uang yang terkumpul nantinya dipakai untuk pembangunan masjid desa.

Heri, salah satu warga Desa Cipang Kanan, nampak sangat antusias menyambut Kegiatan Lubuk Larangan di desanya. “Kegiatan ini sudah lama kami tunggu karena beberapa kali gagal dilaksanakan. Kami sangat senang tahun ini Pembukaan Lubuk Larangan akhirnya bisa diadakan. Keluarga saya dan seluruh warga di sini sudah menyiapkan beberapa peralatan untuk menangkap ikan,” kata Heri sambil menenteng tanggok, alat untuk menyerok ikan.

Sama seperti para lelaki, para perempuan Desa Cipang juga turut antusias dalam mengikuti kegiatan Pembukaan Lubuk Larangan. Dari usia muda hingga lanjut usia, ikut turun ke sungai dan menanggok ikan. Jenis ikan yang biasa ditangkap yaitu ikan barau, kapiek, baung, lilan, dan canggah.

Bu Erni, seorang ibu paruh baya, mengaku agak kecewa dengan hasil tangkapannya kali ini. “Saya biasanya bisa dapat hingga satu karung, tapi sekarang setengah pun tidak. Ini karena pagar bambu di depan sana roboh, jadinya ikan pada lari ke atas,” tutur Ibu Erni tatkala membersihkan ikan hasil tangkapannya di sungai. Memang benar, sebelum dibukanya Lubuk Larangan, warga sudah menutup bagian hulu dengan pagar bambu supaya ikan hanya lari ke arah hilir, tempat warga menunggu ikan datang. Namun, karena ramainya warga di tempat tersebut sehingga pagar goyah dan rubuh.

Lubuk Larangan dibuka selama dua hari. Selama itu siapapun yang telah mendaftar diperkenankan mengambil ikan di sungai. Hari berikutnya Lubuk Larangan akan kembali ditutup hingga pelaksanaan Lubuk Larangan di tahun depan. Sanksi adat akan dikenakan bagi siapapun yang mengambil ikan pada masa setelah Lubuk Larangan ditutup.

Umi Ma’rufah, Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan WALHI Riau menyebut tradisi Lubuk Larangan merupakan sebuah praktik konservasi lokal. Siklus Pembukaan Lubuk Larangan memberi ruang kembang biak ikan dalam waktu yang cukup. Guna memastikan kembang biak ikan berlangsung baik, tentu kelestarian sungai harus dipastikan berlangsung baik.

“Masyarakat adat di Desa Cipang memperlihatkan praktik konservasi adat mempunyai relasi erat dengan aspek kehidupan sosial dan ekonomi. Bahkan keuntungan ekonomi yang diperoleh dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan komunal. Hal ini yang bagi kami di WALHI disebut sebagai bentuk praktik adil dan lestari, sebuah praktik yang merefleksikan bagaimana apa yang disebut dengan keadilan ekologis hidup dan tetap bertahan di kehidupan masyarakat adat,” sebut Umi.

Narahubung:Umi Ma’rufah, Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan WALHI Riau (085225977379)

Artikel SebelumnyaKeanekaragaman Hayati Harus Dijaga Agar Bumi Tetap Lestari
Artikel SelanjutnyaWALHI Riau Mendorong Akselerasi TORA dan Evaluasi Pelepasan Kawasan Hutan IUP PT WSSI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini