Beranda Energi Melindungi Wilayah Adat dari Ancaman Tambang & Kedok Kepentingan Umum

Melindungi Wilayah Adat dari Ancaman Tambang & Kedok Kepentingan Umum

280
0

Pekanbaru, 13 November 2021—Mahkamah Agung melalui Putusan Putusan Nomor 13 P/HUM/2018 tanggal 31 Mei 2018 menyatakan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 16 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Putusan tersebut membatalkan dua norma terkait aktivitas tambang dan kedok kepentingan umum yang berpotensi menggusur dan mengancam wilayah adat di Riau. Sayangnya, lebih tiga tahun pasca putusan tersebut, baik Gubernur dan DPRD Provinsi Riau belum memberi respon positif dengan mengubah dan/atau menambahkan norma yang memperkuat hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya.

Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Riau menyebut lambannya proses revisi Perda Riau Nomor 10/ 2015 2015 dapat membahayakan keberadaan masyarakat adat di Riau yang semakin terpinggirkan. Bahkan dari awal kemerdekaan Indonesia, masyarakat adat di Riau telah diancam keberadaannya oleh aktvitas perizinan industri ekstraktif.

”Gubernur dan DPRD Provinsi Riau belum merespon upaya pengakuan dan perlidungan masyarakat hukum adat secara maksimal. Selain, tidak melakukan revisi dan penguatan Perda 10/ 2015 secara cepat, Gubernur dan DPRD Provinsi tidak memaksimalkan legislasi daerah dengan baik untuk tujuan tersebut. Contohnya, penerbitan Perda Provinsi Riau Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sama sekali tidak mengatur pedoman atau tata cara pengakuan subjek hukum Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Riau. Perda 14/ 2018 malah memberi perintah pengaturan khusus terkait pedoman pengakuan dan hingga saat ini belum ada Peraturan Gubernur yang mengatur tindak lanjutnya,” sebut Even Sembiring.

Urgensi pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Riau, baik melalui revisi Perda 10/ 2015 dan penerbitan aturan turunan Perda 14/ 2018 tidak dapat dilepaskan dari fakta yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau. Persentase penduduk miskin di Provinsi Riau sejak Maret 2021 naik menjadi 7,12 persen, mengalami kenaikan sebesar 0,30 persen poin jika dibandingkan dengan Maret 2020. Dimana sebelum wabah Covid-19 melanda, angka kemiskinan di Riau 7,2%, atau lebih-kurang 500 ribu jiwa. Malangnya, 80% dari jumlah penduduk miskin itu, atau sekitar 400 ribu jiwa, adalah masyarakat adat Melayu. Masyarakat adat di Riau sangat tergantung pada alam dan hutannya. Dominasi investasi sektor kehutanan, perkebunan hingga pertambangan mengakibatkan semakin kecilnya ruang hidup masyarakat hukum adat di Riau. Berkurangnya tutupan hutan mempunyai relasi kemiskinan dan krisis terhadap akses sumber penghidupan rakyat, khususnya masyarakat adat yang ada di Riau.

“Jika revisi Perda 10/2015 dan penerbitan aturan turunan Perda 14/ 2018 tidak disegerakan Gubernur dan DPRD Provinsi Riau akan memperparah ancaman dan krisis yang dihadapi masyarakat hukum adat di Riau,” tutup Even Sembiring.

Narahubung:

Ahlul Fadli—Koordinator Media dan Penegakan Hukum (0852-7129-0622)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini