Laju industri ekstraktif di Riau telah menunjukkan wajah aslinya. Hal ini terlihat dari berbagai bencana ekologis dan konflik sumber daya alam/agraria yang terjadi akibat praktik buruk kebijakan Negara guna melanggengkan laju investasi. Janji manis kesejahteraan dari pembangunan berbasis investasi rakus lahan, malah menjadikan masyarakat adat, kaum tani dan kelompok masyarakat yang menggantungkan hidup dari kelestarian alam malah hidup miskin akibat kehilangan tanah dan sumber daya alam lain yang menjadi sumber penghidupannya.
Luas daratan Riau 8.915.016 hektar, lebih dari setengahnya diperuntukkan guna kepentingan investasi. Berdasarkan data perizinan sektor kehutanan, perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, sekitar 6 juta hektar daratan Riau telah dibebankan penguasaan dan pemanfaatannya untuk korporasi. Luas ini belum ditambahkan penggunaan untuk sarana umum, perumahaan, perizinan komoditi, eksisting perkebunan rakyat dan pengusaha perkebunan skala besar, perkebunan korporasi yang tidak mempunyai izin serta hutan lindung dan konservasi. Berdasarkan kalkulasi angka-angka tersebut, maka akan didapatkan angka kurang dari 1 juta hektar daratan Riau yang belum dimanfaatkan. Bahkan menurut data lainnya, apabila jumlah perizinan yang diterbitkan pemerintah pusat dan daerah dikalkulasikan akan ditemukan fakta bahwa jumlah izin yang ada melebihi total luasan daratan Riau.
Tidak validnya data mengenai total izin dan penggunaan daratan Riau merupakan cermin buruk kebijakan perizinan dan sistem keterbukaan informasi. Hal ini menjadikan Rakyat tidak mempunyai kepastian hukum terhadap ruang kelola yang dimanfaatkannya. Belum lagi dengan cara berhukum legalistic yang dipergunakan Negara, tentunya semakin melemahkan legalitas pengakuan terhadap hak rakyat atas sumber daya alam/ agraria. Dengan konsep berhukum legalistic ini, maka investasi akan semakin mudah berkonspirasi dengan Negara guna melakukan penggusuran dan menegasikan hak rakyat atas sumber daya alam yang di atas namakan kebijakan.
Di hari Tani 2015 ini, ARRRA melakukan aksi tagih janji Negara agar segera hadir untuk mewujudkan janji Reforma Agraria. Sebagaimana poin kelima dalam 9 agenda Prioritas Pemerintahan Jokowi-JK disebutkan akan meningkatkan kualitas hidup manusia, yang salah satunya dilakukan dengan skema land reform melalui pendistribusian 9 juta hektar tanah di seluruh Indonesia. Dengan kondisi ketimpangan penguasaan ruang kelola di Riau, maka suatu hal yang mustahil apabila program Pemerintah ini hendak diimplementasikan di Provinsi Riau. Satu-satunya cara guna implementasi janji tersebut ialah dengan skema review perizinan terhadap korporasi-korporasi bermasalah di Riau, baik yang secara tegas maupun terindikasi terlibat dalam perkara tindak pidana korupsi, pencemaran lingkungan dan pembakaran hutan dan lahan. Skema review perizinan yang berujung pada pencabutan izin dapat didorong melahirkan kebijakan tata kuasa dan tata kelola (pendistribusian dan rehabilitasi) yang adil dan lestari. Hal ini merupakan satu-satunya solusi menyelasaikan persoalan agraria dan lingkungan hidup di Riau.
Menurut ARRRA, Hari Tani Nasional 2015 harus dijadikan momentum mewujudkan Reforma Agraria sejati di Riau, reforma agraria yang bukan sekedar berbicara mengenai pendistribusian tanah, melainkan penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah, baik secara politis maupun struktur sosial. Kebijakan politk pendistribusian sumber daya alam/ agraria harus dilangsungkan sepenuhnya kepegunan rakyat dengan memperhatikan aspek keadilana, kelestarian dan keberlanjutan. Hukm tidak lagi digunakan menjadi alat represi, melainkan sebagai alat memproteksi rakyat, khususnya kaum tani dan sekaligus sumber-sumber penghidupannya. Guna mewujudkan hal tersebut, maka ARRRA memberikan beberapa catatan terkait persoalan yang menghambat maupun hal urgen yang harus dilakukan terkait kebijakan Reforma Agraria di Riau.
Ancaman Investasi Rakus Lahan Terhadap Kaum Tani dan Kedaulautan Pangan
Lahan untuk kaum tani menghasilkan pangan, sedang lahan untuk investasi menghasilkan asap. Pernyataan ini memperlihatkan bahwa banyak areal konsesi di Riau menyumbang titik api yang berakibat bencana ekologis/ kejahatan asap di Riau. Hanya saja dalam praktik penegakan hukumnya, terdapat kecenderungan hukum hanya dikerjakan optimal untuk menangkapi kaum tani serta rakyat kecil lainnya. Ironi penegakan hukum, berjalan lurus dengan kebijakan Negara yang terus menerus melanggengkan laju investasi rakus lahan guna kepentingan industri pulp and paper dan perkebunan kelapa sawit serta batu bara. Berdasarkan data perizinan yang ada diketahui 2,1 juta hektar hutan Riau dialih fungsikan guna menjadi kebun-kebun kayu akasia dan eucalyptus, sedangkan 2,03 bahkan lebih guna kepentingan industri perkebunan kelapa sawit, sedangkan setengah juta hektar lainnya guna pertambangan. Luas hutan dan daratan yang dirusak ini hanya diperuntukkan guna kepentingan segelintur orang atas nama korporasi. Tercatat, untuk industri pulp and paper hanya dikuasai dua taipan pemilik Asian Pulp and Paper (APP) dan Asian Pacific Resources International Limited (APRIL), bahkan kedua taipan tersebut juga brmain disektor perkebunan kelapa sawit melalui korporasi yang terafiliasi langsung/ tidak dengan holding company-nya.
Catatan penggunaan lahan yang begitu besar untuk kebutuhan industri ekstraktif rakus lahan ini akan menjadi ancaman utama bagi cita-cita kedaulatan pangan yang dicita-citakan Negara. Bagaimana mungkin, dengan mengedepankan penggunaan hutan dan lahan guna kepentingan industri yang sama sekali tidak ada hubungannya guna kebutuhan kedaulatan pangan, Negara malah mencita-cita kedaulatan pangan. Berdasarkan hal tersebut, solusi review izin dan mencabutnya guna didistribusikan pada rakyat agar dikelola menjadi sentra pangan harus segera dilaksanakan.
Peran Negara dalam Melanggengkan Konflik
Pembangunan berbasis investasi cenderung melahirkan konflik. Bahkan konflik yang terjadi seolah dilegalkan oleh Negara. Dengan catatan konflik yang hampir terjadi di setiap areal konsesi korporasi, bagaimana mungkin kaum tani mampu menghasilkan pangan yang baik, bagaimana mungkin mereka hidup tenang dan sejahtera di bawah ancaman senjata, kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat Negara maupun preman-preman bayaran korporasi.
Berdasarkan data yang diluncurkan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) disebutkan bahwa pada 2014 paling tidak terjadi 52 konflik berbasis sumber daya agraria yang melibatkan kaum tani, pejuang agraria dan rakyat kecil lainnya. Dalam catatan Serikat Petani Indonesia (SPI), terdapat juga sejarah panjang perampasan tanah petani dari korporasi yang bernama PT. RAKA yang dalam perkembangannya kini terafiliasi dengan Surya Dumai Group/ First Resources. Perjuangan kaum tani yang bergabung dalam SPI ini dibiarkan berlalu tanpa penyelesaian, padahal diketahui secara jelas lokasi perkebunan korporasi tersebut berada di dalam kawasan hutan dan sama sekali tidak diakui legalitas perizinnnnya oleh Pemerintah Kabupaten Kampar.
Selanjutnya, pada 2014 lalu, WALHI Riau juga mencatat bahwa kuasa korporasi lagi-lagi mampu menaklukkan Negara. Adanya rekomendasi Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri Hilir, baik oleh Pemerintah Kabupaten dan DPRD pada 18 Juni 2014 yang memerintahkan PT. Setia Agrindo Lestari yang juga terafiliasi dengan Surya Dumai Group/ First Resources agar menghentikan aktivitas pembukaan hutan alam dan pembangunan kanal di Desa Pungkat. Hal ini yang mengakibatkan kemarahan warga dan melakukan pembakaran alat berat serta pondok korporasi. Masyarakat ditangkap, namun penyelenggara dan korporasi dibiarkan terus beraktivitas membangun kebun kelapa sawit di kawasan hutan. Lagilagi hukum hanya bekerja terhadap rakyat kecil.
Sebenarnya banyak cerita konflik lain yang ada di Riau, seperti di Pulau Padang, Bengkalis pinggir, Kuansing dan lainnya, hanya saja dua contoh ini kiranya dapat menggambarkan konflik secara umum. Akar masalah dari konflik ini sebenarnya berasal dari kebijakan Negara dalam penerbitan izin industri ekstraktif yang secara jelas dan nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan abai terhadap aspek sosial. Negara memilik andil besar dalam melanggengkan konflik yang terjadi.
Menagih Janji Reforma Agraria dari Negara
Salah satu, program prioritas Pemerintah Jokowi-JK adalah pendistribusian 9 juta hektar tanah di seluruh Indonesia. Sebenarnya di DPRD Riau sudah ada Pansus Monitoring, Evaluasi Lahan, Perkebunan, Perizinan dan Pertambangan yang dapat dikorelasikan kerjanya dengan program Pemerintah Pusat. Pansus ini sebenarnya dapat dijadikan alat guna mengevaluasi izin-izin bermasalah dan kelebihan areal konsesi yang dapat dipergunakan untuk proses land reform di Riau. Sayangnya, menurut pantauan ARRRA, Pansus ini saat ini cenderung kompromis dengan pelanggaran yang dilakukan korporasi dan hanya fokus pada sektor permasalahan kesesuain pembayaran pajak yang disetorkan korporasi pada Negara. Hal ini tentunya juga sangat disayangkan, mengingat Rakyat Riau sebenarnya mempunya harapan besar terkait hasil kerja Pansus. Terkait hal itu, maka ARRRA mendorong Pansus dapat kembali melakukan kerja-kerja sesuai semangat awal pembentukan Pansus ini.
Selanjutnya, ARRRA juga meminta agar koneksi kerja Pemerintah Daerah dan Pusat terkait proses-proses review perizinan harus segera dikebut. Terlebih adanya komitmen Presiden Joko Widodo ketika hadir di Riau yang menyebutkan bahwa “perusahaan-perusahaan yang mengkonversi gambut menjadi tanaman monokultur agar ditinjau kembali (izinnya).” Selain itu, adanya juga penegasan Menteri LHK Siti Nurbaya yang menyebutkan akan memberi sanksi adminitrasi pencabutan izin untuk setiap areal konsesi yang ditemukan titik api. Komitmen, pernyataan dan fakta-fakta pelangaran yang dilakukan korporasi tentunya akan menjadi sarana mencabut izin guna kebutuhan land reform. Urgensintas Reforma Agraria, akan memperlihatkan kesungguhan Negara untuk hadir melindungi kaum tani, buruh tani, dan rakyat miskin lainnya dalam skema distribusi lahan yang adil dan berkelanjutan.
Guna memperlihatkan keseriusan tersebut, Negara bisa memulai komitmen pencabutan izin tersebut, melalui tindakan konkrit pencabutan izin PT. Lestari Unggul Makmur di Kecamatan Tebing Tinggi Timur Kepulauan Meranti yang secara tegas disebutkan Presiden akan dicabut izinnya dan didistribusikan ulang pada rakyat. Hal ini akan menjadi contoh baik dalam dorongan isi Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan, karena Sungai Tohor dan 5 Desa lainnya yang berkonflik dengan PT. LUM merupakan salah satu daerah penghasil sagu, yang merupakan salah satu jenis tanaman pangan alternative.
Merujuk pada beberapa persoalan yang telah kami uraikan di atas, cita-cita kedaulatan pangan hanya dapat terwujud melalui Gerakan Reforma Agraria, gerakan yang sepenuhnya mendorong terciptanya kebijakan keadilan distribusi sumber daya alam/ agraria kepada kaum tani, buruh tani dan rakyat kecil lainnya dengan skema pengelolaan lestari dan berkelanjutan. Kedaulatan Tani atas tanah merupakan satu-satunya cara mewujudkan daulat pangan nasional.
Menyikapi hal tersebut, maka ARRRA pada Hari Tani Nasional 2015 ini menyerukan 10 tuntutan guna terwujudnya Reforma Agraria Menuju Kedaulatan Pangan, yaitu:
- Cabut Izin Korporasi Perusak Lingkungan dan Perampas Tanah Rakyat;
- Kembalikan dan Distribusikan Sumber-sumber Agraria yang Di Rampas Korporasi dan Rezim Anti Rakyat;
- Hentikan Penerbitan Izin-izin baru bagi korporasi;
- Pulihkan Kerusakan Lingkungan akibat Praktik Buruk Korporasi.
- Hentikan Bencana Ekologis/ Kejahatan asAPP;
- Hentikan Kriminalisasi Petani dan Pejuang Agraria;
- Cabut Izin dan Nasionalisasi Pabrik-pabrik Korporasi Kehutanan dan Perkebunan Pembakar Hutan dan Lahan;
- Distribusikan Areal Konsesi Korporasi Pembakar Hutan dan Lahan kepada Rakyat;
- Distribusikan Kelebihan Tanah Hasil Monitoring dan Evaluasi Izin Pansus DPRD Riau Kepada Rakyat;
- Pangan Lokal dan Sehat Untuk Rakyat.
Pekanbaru, 21 September 2015
ALIANSI RAKYAT RIAU untuk REFORMA AGRARIA
SPI-WALHI Riau-GMPKS-JMGR
Lebih Lanjut Hubungi:
- Taufik Rahman (081372031186)
- Riko Kurniawan (081371302269)
- Misngadi (08127620506)