RINGKASAN EKSEKUTIF
Indonesia merupakan negara penting dalam industri fesyen. Menempati urutan ketiga penghasil rayon terbesar di dunia menjadikan Indonesia sebagai penguasa bahan baku fesyen global yang menguasai lebih dari 70% pasar rayon viskose dunia. Peran ini tidak lepas dari pengaruh Royal Golden Eagle (RGE) yang mendirikan pabrik serat rayon viskose terintegrasi terbesar di dunia pada tahun 2020. Pabrik yang bertempat di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau ini dioperasikan oleh PT Asia Pacific Rayon (APR). Sayangnya produksi viskose PT APR tidak diikuti dengan rantai pasok yang baik dan berkelanjutan. Bahan baku yang disuplai dari perkebunan APRIL Grup mengindikasikan keterlibatan PT APR hingga industri fesyen terhadap kerusakan lingkungan hidup dan perampasan ruang hidup masyarakat adat dan lokal. Kerusakan lingkungan hidup oleh APRIL Grup dimulai dari aktivitas pembukaan lahan yang menyebabkan deforestasi. APRIL Grup melalui anak perusahaan atau mitra pemasoknya mengubah hutan menjadi perkebunan monokultur. Hilangnya hutan tidak hanya berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati, namun juga berdampak terhadap kerusakan ekosistem gambut serta memicu kebakaran hutan dan lahan. Salah satu perusahaan yang berafiliasi dengan APRIL Group, PT Sumatera Riang Lestari (SRL), menjadi bukti praktik buruk yang dilakukan perusahaan perkebunan kayu. Perusahaan ini menjadi sumber kerusakan lingkungan hidup seperti deforestasi, kebakaran hutan dan lahan, kerusakan ekosistem gambut, dan tidak menjalankan kewajiban restorasi gambut. Luas wilayah perkebunan PT SRL saat ini tercatat seluas 102.037,17 ha, sementara deforestasi di areal kerjanya mencapai 91.494 ha. Artinya 89,67% hasil perkebunan PT SRL berasal dari praktik buruk deforestasi. Melihat angka deforestasi yang terjadi di areal kerja PT SRL, dapat diindikasikan bahwa perkebunan PT SRL diperoleh atas aktivitas yang melanggar komitmen Sustainable Forest Management Policy (SMFP). Selain menjadi sumber kerusakan lingkungan hidup, PT SRL juga turut merampas ruang hidup masyarakat. Konflik yang disebabkan atas keberadaan PT SRL terjadi di seluruh areal kerjanya di tiga kabupaten di Riau, Bengkalis, Kepulauan Meranti, dan Indragiri Hilir. Konflik ini merupakan bukti nyata dampak buruk atas penerbitan izin tanpa adanya partisipasi masyarakat. Pelanggaran lain juga dilakukan PT SRL terhadap para pekerja mereka. Dugaan perbudakan modern masih terjadi dilakukan PT SRL. Buruh Harian Lepas (BHL) yang telah bekerja selama enam bulan perusahaan mitra pemasok APRIL tersebut tidak mendapat kepastian waktu kerja, upah, kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Selain itu, PT SRL juga membiarkan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di lingkungan kerja mereka. Bahkan salah satu pekerja perempuan dipaksa bekerja beberapa hari setelah ia melahirkan. Beragam kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup yang dilakukan PT SRL membuktikan adanya rangkaian dosa ekologis perusahaan perkebunan kayu di sektor kehutanan. Pemerintah Indonesia harus tegas menindak segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang terbukti melakukan praktik deforestasi, pelanggaran HAM, dan memicu konflik. Masalah ini juga harus diperhatikan oleh para pelaku industri fesyen agar menangguhkan atau bahkan menghentikan pembelian serat viskose dari PT APR, Sateri, bahkan RGE. Hal ini bertujuan untuk memberi tekanan agar perusahaan tersebut dapat berbenah dan menghentikan praktik buruk dalam areal kerjanya.