Beranda Siaran Pers September Hitam: Seruan Melawan Penindasan

September Hitam: Seruan Melawan Penindasan

52
0

Catatan Diskusi

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALLHI) Riau

Senin, 23 September 2024—WALHI Riau menggelar diskusi yang bertajuk “Mengapa September Hitam?” Kegiatan ini sebagai pengingat publik bahwa September menjadi bulan terjadinya sejumlah peristiwa kelam. Mulai dari tragedi extra judicial killing dalam peristiwa 1965-1966, aksi brutal militer di Tanjung Priok pada 1984, tindakan represif terhadap demonstran aksi reformasi Semanggi II pada 1999, pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib pada 2004, tindakan brutal dan represif aparat keamanan dalam aksi Reformasi Dikorupsi pada 2019, upaya penggusuran paksa masyarakat adat dan tempatan Pulau Rempang pada 2023, dan beberapa peristiwa lainnya.

Bertempat di pendopo WALHI Riau, diskusi dipandu Putri Azzahra sebagai moderator. Adapun dua pemantik diskusi ini, yaitu Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi WKR dan Ahlul Fadli, Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALHI Riau. Selanjutnya, diskusi ini dihadiri puluhan orang yang berasal dari perwakilan organisasi non pemerintah, perwakilan organisasi kemahasiswaan, dan beberapa masyarakat umum.

Satu Tahun Tragedi Kemanusiaan Rempang

Eko Yunanda memulai diskusi dengan cerita konflik dari Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau. Ia menjelaskan awalnya pemerintah memosisikan Pulau Rempang sebagai pulau tak bertuan. Ambisi membangun kota baru penopang Batam dan pembangunan pabrik kaca dan solar panel dalam bungkus Proyek Strategis Nasional membuat keberadaan masyarakat adat dan tempatan di Rempang diacuhkan. Ambisi ini dilakukan dengan cara menggusur masyarakat di Rempang. Hal ini  yang mengakibatkan bentrokan antara masyarakat dengan aparat kepolisian, TNI, dan satuan lainnya pada 7 September 2023 di Jembatan 4 Barelang, Sultan Zainal Abidin. Tidak cukup di situ, aksi solidaritas Melayu pada 11 September 2023 di kantor BP Batam juga kembali direpresi.

Satu tahun berlalu, pemerintah tetap bergeming, kekeh untuk melanjutkan Proyek Strategis Nasional. Tindakan intimidasi dan bujuk rayu untuk mengosongkan pulau terus dilancarkan. Kondisi ini membuat seluruh masyarakat adat dan tempatan, termasuk perempuan dan anak merasakan tekanan. Artinya, hak asasi mereka, baik hak atas tanah, identitas sebagai masyarakat adat, dan hak lainnya diabaikan pemerintah. Pihak yang seharusnya mempunyai tugas utama dalam upaya perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM malah menjadi aktor utama dalam mendesain rentetan pelanggaran HAM, bahkan pelanggaran berat HAM.

Berangkat dari pengantar tersebut, Eko mendesak pemerintah harus menghentikan dan membatalkan rencana pengembangan Proyek Strategis Nasional Rempang Eco-city.

“Presiden Joko Widodo harus berani mengoreksi kebijakan ini. Membatalkan proyek dan fokus pada proses penyelesaian konflik dengan memenuhi janji kampanyenya. Memberikan legalitas tanah masyarakat adat dan tempatan di Pulau Rempang,” ujar Eko. “Presiden Joko Widodo harus meminta maaf dan upaya penyelesaian konflik di Pulau Rempang, menghentikan PSN Rempang Eco-city adalah solusi terbaik atas nama keadilan dan memberikan akses legal terhadap wilayah kelola masyarakat merupakan wujud melindungi hak atas ruang hidup masyarakat,” ujar Eko.

Konteks Saat ini dan Kewajiban Memperluas Gerakan Masyarakat Sipil

Ahlul Fadli memantik diskusi dengan menjelaskan bahwa gemuknya koalisi pemerintah yang di DPR membuat para politikus leluasa menjalankan politik pragmatis, kompromistis, dan elitis. Situasi yang menghilangkan sistem kontrol dan akan terus menerus membawa dampak mengerikan bagi kelangsungan demokrasi, perlindungan hak dasar masyarakat adat dan tempatan, hingga keberlanjutan lingkungan hidup.

“Kita sebagai masyarakat sipil harus peka terhadap kondisi Indonesia saat ini. Tidak cukup hanya sekedar melakukan aksi pada momen-momen tertentu atau bahkan ketika kebijakan yang buruk diterbitkan. Membuka ruang-ruang diskusi sangat penting guna meningkatkan kesadaran sosial, ruang-ruang diskusi sebagai ruang merumuskan narasi tanding untuk mendesak pemerintah  agar melindungi hak seluruh masyarakat Indonesia,” ungkap Ahlul.

Apa pun kebijakan pemerintah tidak akan pernah mendapatkan tantangan dari DPR karena  hampir semua partai parlemen tergabung dalam kelompok koalisi. Mekanisme check and balances yang substantif tidak akan berjalan. Untuk mengembalikan keseimbangan relasi kuasa pemerintah-bisnis-masyarakat sipil, diperlukan keberadaan kelompok masyarakat sipil yang kritis, kuat, dan meluas. Pengorganisasian dan mendorong diskursus perlawanan merupakan suatu kewajiban untuk memastikan negara dapat menangkap dan mengimplementasikan agenda-agenda politik kerakyatan. Masyarakat sipil harus melakukan kontrol terhadap insentif dan stimulus kebijakan yang menguntungkan korporasi. Mendelegitimasi hal tersebut dan secara bersama mendorong negara untuk memenuhi kewajibannya untuk memastikan keberlanjutan lingkungan hidup yang baik dan sehat, redistribusi sumber agraria dan kesejahteraan, integrasi perlindungan sosial dan kepastian layanan dasar.

Setelah pemaparan, moderator memberikan kesempatan bagi peserta untuk memberikan tanggapan dan penguatan.

Hilarius, YLBHI-LBH Pekanbaru, melihat momentum September Hitam bentuk duka cita masyarakat Indonesia mengingat berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi. Dalam konstitusi secara tegas negara menjamin dan berkewajiban menghormati juga melindungi hak-hak  setiap orang seperti hak untuk hidup, tidak disiksa, berpendapat dan lain sebagainya. “Masyarakat menjadi korban atas kepentingan investasi, hal ini melenceng dari cita-cita reformasi,” kata Hila. Ia menambahkan, pembungkaman ruang kebebasan dengan berbagai cara selama ini telah berimplikasi pada iklim ketakutan berekspresi di tengah-tengah masyarakat.

Fenti Widya, tuna daksa dari kelompok disabilitas, merespons agenda September Hitam jadi ruang bagi kelompok disabilitas dalam menegakkan hak asasi manusia khususnya kesempatan dan peluang yang sama bagi kelompok disabilitas, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Fenti menambahkan apabila hendak ambil bagian guna memastikan negara untuk memenuhi hak kelompok disabilitas, maka kelompok masyarakat sipil harus terlebih dahulu melahirkan kebijakan internal yang ramah terhadap kelompok disabilitas.

“Pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM harus terus didorong inklusif. Mengakomodasi kebutuhan dan hak-hak khusus penyandang disabilitas, kita harus memulainya dan mendorong pemerintah untuk memasifkan diskursus pembaharuan pemahaman dan persepsi masyarakat tentang penyandang disabilitas. Hal inilah yang akan melahirkan kebijakan komprehensif dan mengakomodasi hak kelompok disabilitas secara utuh,” pungkas Fenti.

Narahubung:

WALHI Riau Official (082288245828)

Artikel SebelumnyaHentikan Intimidasi terhadap Masyarakat Rempang
Artikel SelanjutnyaHari Tani Nasional: Orang Muda Riau Tuntut Reforma Agraria Sejati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini