Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau
Pekanbaru, 16 November 2022—WALHI Riau meminta forum G20 dan COP-27 menghentikan tawaran solusi palsu guna mengatasi krisis iklim. Dua helat tersebut tidak menaruh aspek keadilan bagi rakyat dan lingkungan hidup sebagai aspek utama untuk bangkit dan pulih. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tetap melanggengkan dominasi ekonomi negara-negara anggota G20, khususnya G7. Negara G7 juga begitu dominan dalam menentukan keputusan-keputusan pada COP-27. Tujuh negara tersebut menolak untuk membayar hutang ekologisnya. Mereka malah terus mendorong negoisasi yang pada prinsipnya menguntungkan negara utara (global north countries) dan korporasi transnasional.
Guna melawan tawaran solusi palsu tersebut, WALHI Riau bersama enam jaringan lembaga anggotanya, Perkumpulan Elang, Kaliptra Andalas, YLBHI-LBH Pekanbaru, Mapala Suluh, Wanapalhi dan Laskar Penggiat Ekowisata (LPE) Riau melakukan aksi damai di Jalan Sudirman, Pekanbaru, tepatnya di depan kantor Gubernur Riau. Aksi ini dilangsungkan sekitar pukul 13.30 WIB sampai dengan 14.30 WIB pada Selasa, 15 November 2022.
Dalam aksi ini, Rezki Andika, Koordinator Relawan Pengorganisasian WALHI Riau menyebut forum G20 tidak mengusung agenda konkrit pemulihan lingkungan dan mewujudkan keadilan iklim bagi berbagai entitas, termasuk kelompok anak muda. Bahkan berbagai forum rakyat dan masyarakat sipil jelang dan bertepatan dengan KTT G20 di Bali malah direpresi dan dibubarkan paksa.
“Bagaimana forum ini dapat merumuskan keadilan, apabila para anggota G20 membiarkan pemerintah Indonesia sengaja mengangkangi demokrasi dan kebebasan berpendapat masyarakat sipil. Tiga topik Arsitektur Kesehatan Global, Transformasi Ekonomi Digital, dan Transisi Energi hanya bualan apabila negara-negara G20 mendorong transisi energi dan transformasi ekonomi digital dari varian industri ekstraktif dan kotor lainnya. Transisi energi hanya sebagai sarana transformasi komoditas, praktiknya tetap melukai bumi dengan varian tambang baru, menggunakan energi yang menaruh rakyat di bawah bayang ancaman bencana hingga mendesain kedok pemulihan yang faktanya hanya melanggengkan laju akumulasi,” sebut Rezky.
Pelaksanaan KTT G20 yang tidak demokratis jelas menutup ruang partisipasi kelompok anak muda. Contohnya, kelompok mahasiswa di Bali dan Kalimantan Tengah direpresi aparat keamanan ketika mnyalurkan aspirasinya. Kondisi ini tentu menjauhkan kelompok muda dari perjuangan mewujudkan keadilan antargenerasi, keadilan untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat di masa depan.
Pelaksanaan COP-27 pun tidak lebih baik dari KTT G20. Konferensi ini masih megedepankan skema bisnis untuk menahan laju perubahan iklim. Negara-negara penghasil karbon masih dibiarkan melanjutkan investasinya dan menggantinya dengan skema perdagangan karbon. Kondisi ini jelas merugikan kelompok masyarakat yang berada di wilayah pesisir dan pulau kecil. Masyarakat di lokasi tersebut telah mengalami dampak krisis iklim akibat praktik buruk negara-negara G7 dan korporasi multinasional. Selain itu, negara G7 melalui forum G20 berupaya untuk memonopoli harga perdagangan karbon. Praktik ini jelas merugikan negara-negara kecil yang tidak masuk dalam konfrensi, masyarakat adat hingga komunitas lainnya.
Sera, salah satu massa aksi dari LPE Riau, menyebut apa yang mereka serukan pada hari ini juga terkait dengan dampak buruk krisis iklim terhadap perempuan. Berdasarkan riset IUCN (2020) diketahui krisis yang lahir akibat perubahan iklim mengakibatkan peningkatan pernikahan perempuan di usia dini di Afrika. Selain itu, perempuan juga sering digunakan menjadi alat tukar untuk mendapat pangan yang layak (dw.com/22/02/2020). “Krisis iklim yang memperparah sumber air bersih juga ke depan akan membuat perempuan kesulitan untuk mendapatkan air. Padahal sejak bangun tidur hingga kembali tidur kehidupan perempuan tidak bisa dilepaskan dari air bersih,” ujar Sera.
Sera juga menambahkan bahwa aksi yang mereka lakukan bertujuan untuk mengingatkan Indonesia mengambil bagian lebih dalam upaya menekan dominasi negara G7 dalam dalam KTT G20 dan COP 27. “Indonesia seharusnya mengambil peran lebih agresif memaksa negara dan korporasi perusak lingkungan untuk membayar hutang ekologis, menekan dominasi penentuan harga karbon hingga menghentikan solusi palsu mengatasi krisis iklim. Bukan sebaliknya berlaku represif dan agresif terhadap tuntutan rakyat untuk berjuang mendapat keadilannya,” sebut Sera.
Aksi yang dikuti 30 anak muda ini juga mengingatkan Gubernur dan entitas pemerintah lokal lain di Riau agar secara tegas mengambil sikap melindungi masyarakat Riau dan sumber daya alamnya dari dampak krisis iklim. “Gubernur dan entitas pemerintah lokal lain di Riau harus tegas meminta tanggung jawab negara dan korporasi yang bersumbangsih mendorong laju dampak krisis iklim di Riau. Gubernur hingga pemerintah di tingkat bawah harus memaksa mereka untuk membayar hutang ekologisnya,” kata Rezki.
Narahubung:
- Rezki (082384627527)
- Umi (085225977379)