Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau
Pekanbaru, 8 Juni 2022— Peringatan Hari Laut Sedunia pada 2022 mengangkat tema Revitalization: Collective Action for the Ocean. PBB dalam siaran persnya mengajak kita semua untuk memposisikan kembali peran vital laut bagi kehidupan.[1] Laut yang menutupi lebih dari 70% bumi berperan vital bagi kelanjutan bumi. Ekosistem laut memproduksi setidaknya 50% kebutuhan oksigen dan menjadi penyuplai kebutuhan sumber protein. Sayangnya, saat ini kondisi laut berada dalam kondisi memprihatinkan yang diakibatkan oleh praktik buruk manusia dalam mengelola ekosistem laut.
Even Sembiring, Direktur Eksekutif WALHI Riau menyebut seruan aksi bersama yang disampaikan PBB merupakan alarm pengingat bagi kita untuk memulihkan ekosistem laut. Berbagai aktivitas industri ekstraktif, tumpahan minyak, penggunaan alat tangkap ikan berbahaya, buangan limbah industri dan sampah plastik merupakan sumber utama yang mengakibatkan kerusakan laut.
“Tidak mengherankan PBB dalam siaran persnya menyebut 90% populasi ikan besar dikuras bahkan habis dan 50% terumbu karang hancur. Di Riau, kondisi laut tidak jauh berbeda dengan kondisi laut pada umumnya. Sampah plastik, tambang pasir laut, tumpahan minyak dan aktivtas tangkap berlebihan merupakan ancaman utama bagi ekosistem laut,” sebut Even Sembiring.
Provinsi Riau mempunyai luas laut sebesar 1.045,15 km2 atau 104.515 hektare, 1,2% dari luas wilayah Provinsi Riau. Walau luasnya tidak sesignifikan wilayah darat, laut masih menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Riau, baik sebagai sumber pendapatan, transportasi dan wilayah konservasi serta habitat bagi berbagai spesies.
Sayangnya, kondisi laut Riau kurang lebih sama terancamnya dengan ekosistem di daratan Riau. Kabupaten Rokan Hilir dan lokasi sekitar mengalami jumlah penurunan tangkapan ikan signifikan tiap tahunnya. Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan kondisi ini diakibatkan oleh aktivitas overfishing di perairan Laut Andaman dan Selat Malaka. Di Kabupaten lain seperti Bengkalis, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan aktivitas tambang pasir laut mengakibatkan kehancuran ekosistem terumbu karang dan habitat spesies laut.
Kondisi laut di Provinsi Kepulauan Riau tidak jauh berbeda. Aktivitas tambang pasir mengancam ekosistem laut dan pulau kecil di Kepulauan Natuna.[2] Sedangkan di Bintan, aktivitas tumpahan minyak terus mencemari laut sepanjang 10 tahun terakhir.[3] Dengan karakteristik pulau kecil, pencemaran dan aktivitas tambang di lokasi tersebut tentu mengakibatkan naiknya kerentanan pulau sekaligus mengancam keberlanjutan nafkah hidup penggiat pariwisata dan nelayan lokal.
Berdasarkan olah data WALHI, kondisi laut yang dipenuhi berbagai ancaman aktivitas destruktif telah mengakibatkan jumlah keluarga nelayan turun secara konsisten per tahunnya. Laut yang indah, yang sekaligus menjadi pemasok oksigen, kebutuhan protein hingga rumah bagi berbagai spesies harus dijaga dan dipulihkan.
“Menjaga dan memulihkan laut secara bersama merupakan upaya kolektif untuk memastikan keberlanjutan hidup kita, generasi kita dan generasi depan. Lebih jauh, menjaga dan memulihkan laut merupakan salah satu upaya mewujudkan apa yang kita sebut sebagai keadilan ekologis,” tutup Even Sembiring.
Narahubung;
Eko Yunanda (081276552376)
Umi Ma’rufah (085225977379)
[1] https://www.un.org/en/observances/oceans-day
[2] Informasi dari Aliansi Natuna Menggugat
[3] https://www.mongabay.co.id/2022/03/14/sudah-10-tahun-limbah-minyak-hitam-cemari-laut-bintan/