Beranda Siaran Pers Eksekusi Pemulihan Lingkungan Setengah Jalan, Ancaman Bagi Keberlangsungan Ekoligis

Eksekusi Pemulihan Lingkungan Setengah Jalan, Ancaman Bagi Keberlangsungan Ekoligis

328
0

Pekanbaru, 1 Desember 2020—Walhi Riau menghelat webinar jelang Konsolidasi Daerah Lingkungan Hidup (KDLH) dengan tema “Menyoal, Putusan Denda, Perbaikan Akibat Tindak Pidana dan Perdata, Ganti Rugi dan Tindakan Pemulihan Lingkungan Dalam Kasus Korporasi Pembakar Hutan dan Lahan di Riau”. Menurut WALHI Riau, belum dilaksanakannya putusan denda, kerugian lingkungan hidup hingga pemulihan atas kasus kekabaran hutan dan lahan oleh korporasi tentunya mencederai rasa keadilan dan berpotensi pada kerusakan yang lebih parah di Provinsi Riau. Belum lagi, putusan yang tidak dilaksanakan tersebut tentunya melahirkan preseden buruk sekaligus tidak memberikan efek jera yang maksimal.

Dalam webinar ini hadir sebagai narasumber, Prof MR Andri Gunawan Wibisana, SH LLM (Guru Besar Fak. Hukum UI), Jamsmin Ragil Utomo, Direktur PSLH KLHK, Reynaldo G Sembiring, SH (Direktur ICEL) dan Riko Kurniawan, SE (Direktur Walhi Riau).

Mengawali diskusi, Riko Kurniawan, sampaikan bahwa pada proses penegakan hukum, beberapa perusahaan yang lahannya di segel oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Polda yang kasusnya sebagian sudah masuk ke persidangan. WALHI Riau mendata putusan perdata dan pidana kasus karhutla serta pembalakan kayu yang kasusnya masuk persidangan sejak 2013 hingga 2020. Untuk putusan kasus pidana (PT JJP, WSSI, TRIOMAS FDI, NSP, LIH, SSS, TI dan PLM) total denda yang harus dibayar dari kasus tersebut 16 Miliar dan biaya pemulihan lingkungan 37,1 Miliar sedangkan kasus perdata ( PT JJP, NSP dan MPL) total biaya pemulihan yang harus dibayar berjumlah 17,761 Triliun. Dari kasus tersebut mayoritas mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung, namun ada juga kasasinya ditolak majelis hakim seperti PT NSP.

Dari putusan tersebut menurut Riko, perlu dipertanyakan, bagaimana negara melakukan eksekusi terhadap putusan lingkungan tersebut dan memastikan porses eksekusi ini berjalan dengan terbuka dan akuntabel sehingga publik bisa mendapatkan keadilan dari proses eksekusi tersebut. “Selanjutnya biaya pemulihan lingkungan juga bisa mengembalikan ekosistem yang sudah rusak akibat kerhutla dan kembali terjaga dari pengrusakan,” ujar Riko, ia mengatakan negara tidak boleh kalah dari penjahat lingkungan dan hukum harus berpihak pada keadilan ekologi, “Jangan sampai hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hukum harus berikan keadilan bagi lingkungan dan masyarakat di masa depan.”

Menurutnya ada dua persoalan yang hasul segera di selesaikan negara, yaitu; penegakan hukum bagi pelaku pambakar hutan dan lahan supaya ada efek jera serta langkah pemulihan dan perlindungan wilayah gambut agar ekosistemnya kembali pulih. kedua langkah ini sedang di lakukan, “Terbukti pada 2016 hingga 2018 langkah tersebut mulai dirasakan, pertama kali hampir 19 tahun Riau tidak terjadi karhutla,” Ujar Riko Kurniawan.

Sedangkan menurut Prof Andri Wibisana, Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan HIdup (PPLH) tidak memposisikan seperti itu, undang-undang memposisikan negara menggugat kerena ada kerugian lingkungan, artinya ketika sebuah lingkungan tercemar negara tidak serta merta kekayaannya berkurang. “Tapi memang lingkungan yang rusak terus kenapa negara harus menggugat, kalau saya melihat doktrinnya maka saya cenderung melihat ini penerapan dari public trust doktrin atau parens patriae,” Kata Prof Andri Wibisana.

Ia mengatakan, negara berhak melakukan gugatan, bukan kerena ada kerugian negara tetapi negara harus menjamin adanya pemulihan. Sehingga negara menggugat berdasarkan pasal 90 UU lingkungan, bukan kerena adanya kerugian negara tapi kerugian lingkungan. Itu dua hal yang berbeda, jadi ganti rugi hanya untuk pemulihan. “Namun jika kita bicara eksekusi putusan yang sekarang masih setengah jalan.”

Perlu diketahui bahwa dana pemulihan tersebut harus di anggarkan di APBN sampai di setujui, kita tidak berpikir ujungnya pemulihan. Dana pemulihan harusnya masuk ke Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), sehingga uang langsung di gunakan tidak melalui skema APBN. Solusinya apa, primary dan conpensasi restorasi harus diperjelas, seperti penghitungan pemulihan makan harus jelas dalam bentuk rencana kegiatan.

Sejalan dengan hal tersebut, Jasmin Utomo selaku direktur Penanganan Sengketa Lingkungan Hidup (PSLH) KLHK, menyebutkan skema dalam penanganan eksekusi kasus pidana dan perdata. Dalam kasus putusan pidana lingkungan hidup jaksa yang berwenang melakukan eksekusi, sedangkan putusan perdata lingkungan hidup merupakan wewenang ketua pengadilan. Untuk denda pemulihan lingkungan hidup masuk ke kas kejaksaan dan berkoordinasi dengan KLHK dalam hal pemulihan. Dalam hal pemulihan, KLHK memiliki unit pemulihan ekosistem gambut dan telah melakukan koordinasi yang difasilitasi Ditjen Gakkum, agar eksekusi pemulihan bisa dilaksanakan.

Dalam hal eksekusi menurutnya ada beberapa kendala, yaitu; Pertama, kewenangan eksekusi berada pada ketua pengadilan yang dilaksanakan oleh panitera atau juru sita pengganti; Kedua, sulitnya memperoleh aset untuk sita eksekusi; Ketiga, pelaksanaan eksekusi harus tuntas sesuai putusan dan Keempat, hasil eksekusi masuk kas negara melaui PNBP. Ia juga pepakat terkait biaya ganti rugi di kelola oleh BPDLH, “Terkait usul Prof Andri tentang anggaran pemulihan masuk ke Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup ini msih dibahas, jika memungkinkan kenapa tidak, agar prosesnya langsung.”

Dalam menjalankan eksekusi, KLHK masih berpedoman pada; UU 8 tahun 2018 tentang PNBP, PP No 44 tahun 2014 tentang Jenis Tarif PNBP yang berkalu di KLHK, Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA-RI No 40 tahun 2019 tentang Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri dan Permen LHK No P.16 tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut.

Sedangkan menurut Direktur ICEL, Reynaldo G Sembiring, ada hal menarik dalam konteks gugatan yang memang tidak tuntas dalam langkah-langkah eksekusi terkait pemulihan, karena emnurutnya belum kelihatan rencana pemulihan yang di siapkan, padahal itu sangat penting. “Rencana pemulihan tidak muncul di gugatan dan hakim tidak menggali lebih dalam saat proses persidangan,” Ujar Reynaldo.

Menururt Reynaldo, hakim masih tejebak dalam perdebatan tentang angka, melakukan interpretasi dalam penentuan luar areal terbakar dengan metode sendiri yang kita tidak tahu sumbernya dari mana. Satu tindakan yang cukup berani dari hakim yang masuk kepada ranah penghitungan ilmiah walau mereka berdasar dari beban pembuktian. “Hakim pada tahap ini sudah kritis untuk melihat seberapa besar kontribusi dari tergugat terhadap munculnya angka atau nilai yang sebenarnya di tuntut oleh penggugat.”

Bagaimana mengkombinasikan semua jenis penegakan hukum supaya primary dan compensasi restorasi bisa saling melengkapi, jika kita gunakan untuk kasus perdata itu bisa saja cuma menurutnya KLHK juga aktif dalam menjatuhkan sanksi administrasi. Sehingga kemungkinan dibagi dua, supaya tidak terjadi tumpang tindih. Ia mendorong pemerintah fokus pada restorasi, bahkan lebih bagus seudah ada rencananya dulu. Konteks restorasi harus dibangun  satu tim yang lengkap, ini yang belum terjadi di indoensia. Jadi tidak bisa menggunakan satu ahli untuk semua, valuasi bicara hal yang panjang sehingga perlu pemantauan.

Narahubung,

Fandi Rahman (0852 7160 3790)

Ahlul Fadli (0852 7129 0622)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel SebelumnyaTim GTRA Jadi Modal Untuk Penyelesaian Konflik di Kabupaten Siak
Artikel SelanjutnyaMA Tolak PK PT NSP, WALHI Riau: Segera Lakukan Pemulihan Lingkungan Hidup Di Riau

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini