Pekanbaru, 18 Mei 2020. Walhi Riau bersama koalisi pembela hak masyarakat adat meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkalis untuk membebaskan terdakwa Bongku dari dakwaan dan tuntutan pemuntut umum, hal ini disampaikan saat diskusi bersama narasumber diantaranya, Prof. Hariadi Kartodiharjo (Guru Besar IPB), M Ridha Saleh (Mantan Anggota Komnas HAM), Jhoni Setiawan Mundung (Mantan Direktur Walhi Riau), Erdianto (Dosen Fakultas Hukum UR), Boy Jerry Even Sembiring (Walhi Nasional). Dalam diskusi yang berlangsung secara online tersebut para narasumber menerangkan pandangannya terhadap kasus yang dialami Terdakwa Bongku.
Konflik masyarakat adat Sakai dengan PT Arara Abadi di Dusun Suluk Bongkal berawal pada tahun 1996, dan memuncak pada 2008 karena terjadi tindak pidana. Saat itu terjadi penggusuran paksa sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 743/Kpts-II/1996 tentang Hutan Tanaman Industri kepada PT Arara Abadi. Perlu dilihat salah satu poin SK tersebut menyebutkan, “Kepemilikan HGU dan pengelolaan hutan tanaman idustri secara paksa tanpa melewati proses maka akan menimbulkan keserakahan dan mengorbankan masyarakat adat dalam Kawasan tersebut,” kata Mundung, Mantan Direktur Walhi Riau.
Ketika penyerangan rumah masyarakat adat pada 2008, M Ridha Saleh saat itu menjabat Wakil Ketua Komnas HAM, ia menemukan di lapangan telah terjadi pembakaran dan pengrusakan sejumlah rumah masyarakat Suku Sakai, walau tidak semua. Soal keberadaan helikopter saat kejadian memang diakui sejumlah saksi mata. Namun perlu bukti dan identifikasi kuat apakah helikopter itu menjatuhkan bom napalm “Dengan kondisi ini, masyarakat akan terus melakukan perlawanan untuk membela hak mereka,” ucap M Ridaha Saleh, Mantan Wakil Ketua Komnas HAM.
Faktanya bahwa izin HTI yang dipegang oleh PT. Arara Abadi telah berkonflik dengan masyarakat sejak 1996, bahkan meletuskan kejadian berdarah pada 2008 telah memperlihatkan penerbitan perizinan tersebut dan keberadaan PT. Arara Abadi di Suluk Bongkal merupakan faktor kriminogen dan viktimogen terhadap Suku Sakai. “Oleh karena itu majelis hakim harus mengakui keberadaan masyarakat adat salah satunya Bongku, ia harus bebas dari dakwaan dan tuntutan jaksa,” terang Boy Jerry Even Sembiring, Manajer Kebijakan Walhi Nasional.
Status kawasan hutan yang disebut sebagai kawasan hutan produksi, walaupun sudah ditetapkan, masih terbuka bagi pelaksanaan klaim masyarakat atas haknya. Masyarakat, termasuk terdakwa Bongku, tidak dapat dipastikan memasuki dan melakukan tindakan ilegal, karena penetapan kawasan hutan negara belum dilakukan pengukuhan dengan mewujudkan dua hal sekaligus, yaitu sah/legal dan diakui legalitasnya oleh masyarakat (legitimate). “Kita berharap yang terbaik, kasus ini Bongku tidak layak di hukum,” ujar Prof. Hariadi Kartodiharjo, Guru Besar IPB.
Terkait pengukuhan kawasan hutan merupakan tindakan administratif yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk menentukan suatu ruang agraria sebagai peruntukan kehutanan, bukan untuk serta merta menghilangkan hak masyarakat di dalam suatu wilayah tertentu. “Apa yang dilakukan Bongku bukan perbuatan melawan hukum, ia mengelola lahan bukan untuk kepentingan komersil,” tegas Erdianto,dosen fakultas hukum UR.
Narahubung;
Andi Wijaya-LBH Pekanbaru (0813-7811-0848)
Ahlul Fadli-Walhi Riau (085271290622)