Senin, 04 Maret 2019 – Lagi, seekor Harimau menyerang warga di Provinsi Riau tepatnya di Desa Pungkat, Kecamatan Sungai, Gaung Kabupaten Indragiri Hilir pada 02 Maret 2019 yang lalu. Serangan terjadi sekitar pukul 13.00 WIB yang mengakibatkan luka parah di bagian kepala dan badan Mardian, warga Desa Pungkat.
Zacky Hasan, Kepala Desa Pungkat membenarkan warganya menjadi korban insiden serangan harimau sumatera tersebut. Ia mengungkapkan sejak masuknya industri perkebunan dan HTI di Indragiri Hilir khususnya di Desa Pungkat dan sekitar, beberapa kali warga yang biasa beraktifitas disekitar hutan yang sudah beralih fungsi menjadi perkebunan ataupun sudah dilakukan penebangan untuk aktivitas industri melihat jejak kaki kucing raksasa itu. Selanjutnya, Zacky mengungkapkan bahwa pemerintah dan korporasi harus bertanggungjawab secara moril dan materil terhadap korban yang merupakan warganya.
“Ini kali pertama menimpa warga Desa Pungkat. Namun selama proses advokasi penolakan keberadaan PT SAL bersama Walhi Riau, dilapangan kita kerap mendapati jejak kaki harimau dikonsesi dan sekitar konsesi PT SAL yang dulunya merupakan hutan tempat mencari bahan baku kapal di hutan sekitar Sungai Rawa. Keberadaan perusahaan yang izinnya diberikan oleh pemerintah ini jelas memiliki pengaruh terhadap terganggunya habitat satwa, tidak hanya harimau namun Desa Pungkat juga pernah didatangi beruang ke pemukiman”, ujar Zacky.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Daerah Riau, Riko Kurniawan menambahkan bahwa di Riau khususnya di Indragiri Hilir, insiden serangan ini bukan kali pertama.
“Pada tahun 2018 seekor harimau yang diberi nama Bonita telah menewaskan dua warga dari Desa Simpang Kanan Kecamatan Pelangiran, Inhil. Lokasi penyerangan satwa yang terancam punah tersebut merupakan habitat harimau yang sudah berubah menjadi perkebunan sawit milik perusahaan swasta”, tambah Riko.
Lebih lanjut, Riko memaparkan perjalanan alih fungsi kawasan yang terindikasi merupakan faktor utama dari serangan harimau terhadap warga di Indragiri Hilir. Beberapa izin konsesi terdapat di Desa Pungkat dan desa-desa sekitarnya, baik industri perkebunan dan industri kehutanan. PT Setia Agrindo Lestari adalah salah satu perusahaan dengan luas ± 17.059 hektar. Anak perusahaan First Resources ini memiliki sejarah panjang dugaan pelanggaran dalam penerbitan izin dan konflik agraria yang terjadi. Perusahaan perkebunan kelapa sawit ini juga tumpang tindih dengan izin HPH HTI PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa dan PT Bina Keluarga serta berada di atas lahan gambut. Gambar 1. Izin PT SAL (garis hitam) Tumpang Tindih Dengan Izin HPH HTI PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa (APP Grup) dan PT Bina Keluarga.
Dalam catatan Walhi Riau, meskipun pasca penerbitan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK: SK.878/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau tanggal 29 September 2014, lokasi izin usaha ini telah berubah statusnya, dari kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain, namun tidak menutup riwayat bahwa dalam kronologinya ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang dilakukan PT. SAL karena beraktivitas di kawasan hutan sebelum adanya pelepasan, dimana ada aktivitas penebangan dan alih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit sebelum areal berubah status. Gambar 2. Penebangan kayu alam yang dilakukan PT. SAL. Gambar pada titik koordinat, latitude S0 03.228 dan longitude E103 09.404 Gambar diambil pada 7 Maret 2015, oleh Tim Walhi Riau/Eyes on the Forest.
Riko menjelaskan bahwa sejak mengantongi izin dari Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir, PT SAL melakukan aktivitas penebangan kayu alam serta pembuatan kanal-kanal. Lebih lanjut, sebagian dari areal konsesi PT SAL merupakan gambut dengan kriteria lindung, yang seharusnya tidak dapat dibebani izin.
“Aktivitas destruktif terhadap hutan di Desa Pungkat ini menjadikan harimau sumatera kehilangan rumahnya dan menyebabkan konflik satwa dengan manusia. Tidak hanya itu, kebakaran akibat kerusakan gambut juga terjadi dan pencemaran air sungai rawa juga dialami oleh warga Desa Pungkat”, ujarnya.
Desa Pungkat Kecamatan Gaung dan Desa Simpang Kanan Kecamatan Pelangiran, tempat terjadinya insiden penyerangan harimau dalam dua tahun terakhir diketahui merupakan landscape Suaka Margasatwa Kerumutan yang luas tutupannya terus berkurang akibat ekspansi industri. Landscape ini merupakan rumah dan kawasan jelajah bagi beberapa satwa endemik, salah satunya harimau sumatera.
“Atas insiden yang terjadi negara harus bertanggungjawab. Sebab, pemberian izin yang menghilangkan rumah bagi satwa dan mengganggu sumber nafkah hidup rakyat untuk kepentingan segelintir orang merupakan pelanggaran hak asasi bagi warga negaranya. Selain itu diketahui bahwa harimau sumatera akan selalu melewati jalur yang sama dengan cakupan jelajah lebih dari 100 km, sehingga ketika kawasan jelajahnya berubah menjadi hamparan perkebunan dan terdapat aktivitas manusia, maka insiden seperti ini akan terus berulang”, tutup Riko. Bersamaan dengan itu, Walhi Riau merekomendasikan:
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan audit dan evaluasi terhadap korporasi yang berada di landscape Kerumutan;
- Gubernur Riau, DPRD Provinsi Riau untuk segera melakukan review izin dan kepatuhan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup; dan
- Bupati Indragiri Hilir mencabut izin PT Setia Agrindo Lestari dengan pertimbangan kerusakan gambut dan konflik sosial yang terjadi.
xxxxxx
Narahubung
Fandi Rahman 085271603790
Devi Indriani 082285356253