Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau
Pekanbaru, 29 Oktober 2025 – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau melaksanakan Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup (PDLH) VII WALHI Riau tahun 2025. Pertemuan empat tahunan organisasi masyarakat sipil di Riau kali ini mengusung tema “Transformasi Gerakan Keadilan Ekologis untuk Pulihkan Riau”. Pada kegiatan ini WALHI Riau akan menyusun rencana kerja-kerja WALHI Riau empat tahun ke depan dalam upaya mewujudkan perlindungan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat.
Dalam rangkaian PDLH, WALHI Riau menaja dua kegiatan diskusi dan peluncuran hasil penelitian. Diskusi pertama mengusung tema “Riau dalam Transisi Energi untuk Keadilan Iklim dan Pelestarian Ekosistem”. Kemudian dilanjutkan diskusi kedua dengan tema “Ada Noda di Bajumu: Rangkaian Dosa Ekologis Perusahaan HTI di Tanah Riau”. Dua diskusi ini mencoba untuk menggambarkan dampak buruk industri ekstraktif terhadap lingkungan dan ruang hidup rakyat Riau.

Setelah dibuka secara resmi, kegiatan PDLH dilanjutkan dengan agenda diskusi pertama. Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber dan dipandu oleh moderator, Bara Pratama. Diskusi diawali dengan paparan hasil penelitian yang ditulis oleh Suryadi, Lembaga Advokasi Lingkungan Hidup berjudul “Dampak Tambang Batubara di Desa Batu Ampar Indragiri Hilir”.
Suryadi dalam penelitiannya menyebutkan bahwa aktivitas pertambangan batu bara PT Bara Prima Pratama di Desa Batu Ampar, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir bertentangan dengan ketentuan perundangan-undangan. Pertama Undang-undang Kehutanan karena melakukan penambangan di wilayah hutan produksi Terbatas. Kedua bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara karena tidak melakukan reklamasi pasca penambangan. Terakhir melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dengan membuang limbah di Sungai Reteh.
“Izin tambang PT Bara Prima Pratama harus segera di evaluasi. Aktivitas tambang batu bara oleh perusahaan tersebut jelas melanggar berbagai ketentuan hukum, baik dalam perspektif kehutanan, lingkungan hidup, maupun tata kelola pertambangan. Langkah ini perlu diambil sebagai bentuk tanggung jawab hukum dan moral agar kasus serupa tidak kembali terjadi di daerah lain di Provinsi Riau,” ujar Suryadi.
Hendriyanti, masyarakat Batu Ampar menjelaskan dampak buruk keberadaan PT Bara Prima Pratama di Desa Batu Ampar. Sejak awal masyarakat tidak mendapat informasi mengenai izin dan legalitas perusahaan tambang batu bara tersebut. Ketika mempertanyakan terkait izin, PT Bara Prima Pratama malah merespons dengan upaya intimidasi terhadap masyarakat. Kemudian aktivitas blasting juga merusak rumah-rumah masyarakat. Lebih parahnya aktivitas tambang PT Bara Prima Pratama juga merusak Sungai Reteh yang menjadi sumber air utama masyarakat Desa Batu Ampar.
“Kami hanyalah masyarakat kecil yang tinggal turun-temurun di Batu Ampar. Kami tidak menolak pembangunan, tapi kami menolak ketidakadilan. Kami berhak atas lingkungan yang aman dan layak huni. Jangan biarkan ruang hidup kami dirampas!” tegas Hendriyanti.
Ahlul Fadli, Pjs WALHI Riau menyebut sektor energi merupakan penyumbang emisi tertinggi global saat ini. Kontribusinya sektor energi dimulai dari mengubah hutan menjadi kawasan pertambangan. Kemudian aktivitas pertambangan juga menyebabkan krisis air serta polusi udara.
“Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Paris Agreement. Namun faktanya Indonesia masih bertumpu pada sumber energi fosil, termasuk tambang batubara di Batu Ampar. Hal ini jelas jauh dari cita-cita penurunan emisi karbon dan solusi yang disampaikan Pemerintah baik dalam wujud kebijakan maupun komitmen internasional hanyalah sekadar gimik iklim belaka,” ujar Fadli.
Kegiatan PDLH dilanjutkan dengan diskusi kedua terkait rantai pasok viskose yang berasal dari perkebunan kayu PT SRL. Diskusi ini dipandu oleh Umi Ma’rufah dan menghadirkan tiga narasumber. Diskusi dimulai dengan dampak buruk keberadaan perkebunan kayu PT SRL di Pulau Rupat yang kemudian menjadi bahan baku serat viskose PT APR.
Salikhin, masyarakat Kelurahan Batu Panjang menjelaskan bagaimana kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh PT SRL. Hutan alam yang diubah menjadi perkebunan kayu menyebabkan kerusakan gambut hingga memicu kebakaran hutan dan lahan. Tidak hanya itu, PT SRL juga merampas lahan masyarakat yang telah dikelola sejak 1990.
“Pulau Rupat yang merupakan pulau kecil tidak seharusnya dibebankan dengan perizinan HTI. Berulang kali terbakar kemudian menyebabkan banjir seperti yang terjadi di Kampung Sidomulyo sudah menjadi bukti nyata dampak buruk keberadaan PT SRL di Pulau Rupat. Kemudian perampasan kebun-kebun masyarakat oleh PT SRL sudah menjadi alasan kuat Pemerintah mencabut perusahaan tersebut,” jelas Salikhin.
Susanto Kurniawan melalui hasil penelitiannya menjelaskan peran Indonesia dalam rantai pasok industri fesyen global. Peran ini tidak lepas dari keberadaan PT Asia Pacific Rayon (APR) di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan. Sayangnya produksi viskose PT APR tidak diikuti dengan rantai pasok yang baik dan berkelanjutan. Bahan baku yang disuplai dari perkebunan APRIL Grup mengindikasikan keterlibatan PT APR hingga industri fesyen terhadap kerusakan lingkungan hidup dan perampasan ruang hidup masyarakat adat dan lokal di Provinsi Riau. Termasuk bahan baku viskose yang berasal dari perkebunan kayu PT SRL yang menjadi sumber kerusakan lingkungan hidup seperti deforestasi, kebakaran hutan dan lahan, dan kerusakan ekosistem gambut serta merampas ruang hidup masyarakat di Pulau Rupat, Rangsang, dan Bayas. Selain itu, melanggar ketentuan ketenagakerjaan dan diduga melakukan perbudakan modern terhadap pekerjanya. Kemudian PT SRL juga membiarkan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di lingkungan kerja mereka. Bahkan salah satu pekerja perempuan dipaksa bekerja beberapa hari setelah ia melahirkan.
“Produk viskose yang berasal dari PT APR berasal dari praktik buruk deforestasi, perampasan ruang hidup dan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Serat viscose PT APR kemudian masuk ke rantai pasok tekstil di negara-negara seperti Pakistan dan Bangladesh, dan berakhir di merek-merek fesyen global. Untuk itu, saja mengajak kita semua untuk memeriksa dari mana bahan baku pakaian kita berasal. Kemudian mendesak merek fesyen global melakukan dua hal. Pertama memerintahkan PT APR, APRIL Grup, hingga PT SRL bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup dan memulihkan hak-hak rakyat yang telah dirampas. Kedua menghentikan penggunaan serat viskose yang berasal dari PT APR. Tindakan ini harus dilakukan perusahaan fesyen global jika tidak ingin produk mereka ternoda oleh dosa ekologis perusahaan HTI di tanah Riau,” tutup Susanto
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional menilai penelitian viskose ini sangat menarik. Penelitian ini melihat persoalan dampak buruk keberadaan perusahaan perkebunan kayu dari sisi lain yaitu fasyen, produk yang sangat dekat dengan kehidupan manusia. Selain PT APR, PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang juga memproduksi viskose turut menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dan merampas hak masyarakat di Sumatera Utara.
“33 juta hektar kawasan hutan Indonesia saat ini dikuasai investasi sektor kehutanan. Dari luasan tersebut masih menyisakan tutupan hutan seluas 21 juta hektar. Namun ancaman deforestasi secara legal oleh perusahaan semakin tinggi. Terlebih sejak perubahan perizinan sektor kehutanan menjadi PBPH yang memberikan izin multiusaha kepada perusahaan di areal kerjanya. Jadi setiap perusahaan berpotensi melakukan aktivitas yang menyebabkan deforestasi, termasuk penebangan hutan alam,” tutup Uli.
Diskusi selengkapnya dapat di saksikan melalui link berikut ini
Sesi I: Seminar – Riau Dalam Transisi Energi untuk Keadlilan Iklim dan Pelestarian Ekosistem
Sesi II : Peluncuran dan Diskusi Laporan Penelitian: Ada Noda di Bajumu
Narahubung: 082288245828 (WALHI Riau)