Pekanbaru, 24 September 2025 – WALHI RIau dan YLBHI-LBH Pekanbaru menyoroti Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Komisi VI DPR RI pada Senin, 15 September 2025, di Gedung Senayan, Jakarta, sejumlah isu krusial terkait penolakan relokasi warga Rempang mengemuka. RDP yang disiarkan melalui kanal YouTube TVR Parlemen tersebut membahas Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) BP Batam untuk tahun 2026, namun menuai sorotan karena dianggap mengabaikan aspirasi soal polemik proyek Rempang Eco-City terus menuai kritik tajam dari masyarakat adat dan tempatan.
Kekerasan dan Pendekatan Tidak Humanis
Dalam RDP tersebut, BP Batam mengklaim bahwa proses relokasi warga Rempang dilakukan tanpa kekerasan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Pada 2 Mei 2025, BP Batam bersama Tim Terpadu melakukan penggusuran paksa terhadap lahan seluas lebih dari 8.000 m² milik Erlangga Sinaga di Kampung Tanjung Banun. Selain itu, pada 7 Agustus 2025, rumah Rusmawati di lokasi yang sama juga digusur secara paksa. Proses penggusuran ini dinilai tidak manusiawi, bahkan menyebabkan trauma bagi salah satu anggota keluarga, Nek Nur, yang mengalami perlakuan tidak wajar. Ahlul Fadli, Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALHI Riau menyebutkan, pendekatan BP Batam dalam proses pembangungan rumah relokasi proyek Rempang Eco-City sejak awal sudah bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) (Pasal 2 ayat 1) menegaskan bahwa perencanaan pembangunan harus melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif. “Sejak awal proyek ini tidak memberikan ruang partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan pada proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi,” ujar Ahlul Fadli.
Ketidakjelasan Data Relokasi dan Penolakan Masyarakat
BP Batam juga menyatakan bahwa sekitar 400 Kepala Keluarga (KK) telah menerima relokasi. Namun, pernyataan ini dianggap tidak masuk akal karena BP Batam tidak pernah mempublikasikan data konkret mengenai penerima relokasi, termasuk apakah mereka benar-benar warga asli Rempang atau dari daerah lain. Hingga kini, mayoritas masyarakat Rempang tetap menolak relokasi dan berkomitmen mempertahankan kampung tua mereka. Andri Alatas, Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru mengatakan, tindakan BP Batam yang dianggap mengintimidasi warga, termasuk penggusuran paksa, dituding melanggar hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). “Setiap orang berhak mempertahankan kampung yang menjadi bagian dari ruang hidupnya, dan negara wajib menjamin hak tersebut. Jangan justru melanggengkan kekerasan,” tegas Andri Alatas. Ia nenambahkan, masyarakat sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dari hasil kebun dan laut, sehingga proyek Rempang Eco City jadi ancaman bagi ruang hidup kedepan.
Ahlul Fadli juga mengkritik sikap Komisi VI DPR RI yang dianggap tidak berpihak pada warga Rempang. Menurutnya, fokus RDP hanya berkutat pada anggaran dan kemajuan investasi, tanpa menyentuh isu hak ulayat, trauma akibat kekerasan, dan kriminalisasi warga yang telah dilaporkan oleh Ombudsman dan Komnas HAM. “BP Batam mengklaim relokasi berjalan humanis, tapi warga kehilangan akses laut, sumber penghidupan utama mereka. Komisi VI seolah menutup mata terhadap penderitaan warga Rempang,” ujar Ahlul.
WALHI RIau dan YLBHI-LBH Pekanbaru mendesak BP Batam untuk menghentikan pendekatan represif dan menghormati hak warga atas tanah dan ruang hidup mereka. Selain itu menuntut Komisi VI DPR RI untuk lebih serius mengawasi kinerja BP Batam, alih-alih mendukung kelanjutan PSN Rempang Eco City tanpa solusi nyata bagi warga. Hingga kini, perjuangan masyarakat Rempang untuk mempertahankan kampung tetap berlanjut.
Kontak person:
082288245828 (WALHI Riau)
0811-7675-832 (YLBHI-LBH Pekanbaru)