Jakarta, 6 Februari 2025 — Senarai, Jikalahari, WALHI Riau, dan Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL) menyelenggarakan konferensi pers bertajuk “Menelaah Peluang
Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan Pasca Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban
Kawasan Hutan”. Konferensi pers ini diadakan untuk mendiskusikan substansi Perpres No.
5/2025 dan mendiseminasikan temuan masyarakat sipil berkaitan dengan penyelesaian kegiatan
usaha di kawasan hutan. Konferensi pers ini dilaksanakan secara luring di Tjikinii Lima, Jakarta
Pusat.
Kegiatan ini dibuka dengan pemaparan oleh Made Ali dari Senarai terkait perkembangan
kebijakan penyelamatan kawasan hutan dari perkebunan sawit ilegal. Made menjelaskan secara
historis mengenai kebijakan-kebijakan yang pernah diterbitkan sejak zaman Presiden SBY hingga
saat ini sebagai upaya penyelesaian kegiatan usaha di kawasan hutan. Made juga menyoroti
bagaimana kegiatan usaha di kawasan hutan kerap berkelindan dengan penguasa dan pengusaha.
Made menyatakan bahwa dalam implementasi Perpres No. 5/2025, potensi korupsi sangat tinggi
apabila tidak ada transparansi dan partisipasi publik. Made juga mengkhawatirkan keterlibatan
militer dalam penertiban kawasan hutan, khususnya mengenai potensi pendekatan militerstik yang
digunakan terhadap masyarakat. Terakhir, Made juga menegaskan peran sentral dari Kejaksaan
Agung berkaca dari kasus Surya Darmadi. Harapannya, kasus-kasus serupa dengan kasus Surya
Darmadi yang jumlahnya mencapai ratusan dapat dituntaskan. Made menyatakan, “Saya berharap
pada Kejaksaan Agung untuk menerapan pidana pada korporasi seperti yang mereka lakukan
terhadap Surya Darmadi.”
Konferensi pers dilanjutkan dengan pemaparan oleh Adam Putra Firdaus yang membahas secara
komprehensif mengenai Catatan atas Perpres No. 5/2025 dan Urgensi Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan pasca terbitnya Perpres tersebut. Adam menegaskan bahwa Perpres tersebut
bertentangan dengan peraturan lainnya yang secara hierarkis lebih tinggi, yakni UU No. 18 Tahun
2013 sebagaimana diubah oleh UU Cipta Kerja dan PP No. 24/2021. Adam menyampaikan adanya
peluang perbaikan tata kelola dengan adanya pengaturan terkait perizinan berusaha yang diperoleh secara melawan hukum dalam Perpres No. 5/2025. Dalam rangka mewujudkan hal tersbeut, Adam menegaskan urgensi dilakukannya audit ulang atas kegiatan usaha yang telah diselesaikan atau sedang dalam proses penyelesaian. Terakhir, Adam juga menyoroti mengenai aspek penyelesaian konflik dan pengembalian fungsi kawasan yang belum mendapatkan perhatian dalam Perpres No. 5/2025. Adam menyampaikan, “Penyelesaian kegiatan usaha di kawasan hutan seharusnya tidak hanya menitikberatkan pada peningkatan pendapatan negara melalui denda administratif, tetapi juga harus memastikan perbaikan tata kelola, pemulihan fungsi kawasan hutan, dan penyelesaian konflik secara menyeluruh.”
Kemudian, pemaparan ketiga disampaikan oleh Okto Yugo Setiyo dari Jikalahari. Okto
menjelaskan mengenai polemik kegiatan usaha perkebunan sawit dalam kawasan hutan di Riau.
Okto menjelaskan bahwa di Riau, pemberian izin pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan
banyak yang bermasalah. Okto melihat bahwa Perpres No. 5/2025 memberikan ruang untuk
perbaikan tata kelola, termasuk untuk mengidentifikasi adanya korupsi perizinan di masa lalu.
Okto juga menegaskan bahwa berkaca dari kasus Surya Darmadi, jelas bahwa perizinan diperoleh
secara melawan hukum sehingga tindak pidana korupsi dan pencucian uang diterapkan. Artinya,
penerapan hukum yang sama dimungkinkan ke depannya untuk menindak ratusan perusahaan
perkebunan sawit dalam kawasan hutan. Terakhir, Okto menyampaikan, “Kesuksesan penanganan
kasus Surya Darmadi tidak terlepas dari kewenangan jaksa terkait pemulihan aset. Perpres No
5/2025 membuka ruang untuk pemulihan aset sehingga diharapkan dapat berkontribusi dalam
mengidentifikasi dan menindak praktik-praktik korupsi perizinan.”

Terakhir, konferensi pers diikuti dengan pemaparan oleh Boy Jerry Even Sembiring selaku
Direktur WALHI Riau. Boy memulai pemaparannya dengan menyatakan bahwa berdasarkan
identifikasi KLHK, korporasi merupakan subjek paling dominan dalam melakukan kegiatan usaha
perkebunan kelapa sawit ilegal di kawasan hutan. Lebih lanjut, Boy memaparkan beberapa temuan terkait penyelesaian kegiatan usaha di kawasan hutan di Provinsi Riau. Terdapat temuan terkait perusahaan sawit yang melakukan penanaman sawit baru di dalam kawasan hutan pasca UU CK, mengindikasikan bahwa mekanisme 110A dan 110B yang diharapkan dapat menuntaskan masalah ini belum efektif. Boy juga menyampaikan temuan terkait beberapa perusahaan di Provinsi Riau yang memenuhi kualifikasi untuk diselesaikan melalui mekanisme 110A, namun di sisi lain memiliki riwayat konflik agraria yang panjang dengan masyarakat. Boy mengatakan bahwa hal tersebut menunjukkan bahwa Pasal 110A dan 110B belum mempertimbangkan aspek penyelesaian konflik, dan sangat disayangkan Perpres No. 5/2025 pun belum menaruh perhatian pada aspek tersebut.
Terakhir, Boy menyampaikan, “Perpres No. 5/2025 dapat mengakselerasi penegakan
hukum terhadap korporasi di tengah mandeknya penegakan hukum pidana karena pembatasan
pertanggungjawaban pidana pasca UU CK. Namun, Perpres ini memuat nuansa represif yang
sangat berbahaya. Melihat kecenderungan penegakan hukum yang lebih berat pada subjek orang
perorangan, terdapat kekhawatiran Pepres ini akan dioperasikan dengan cepat dan tegas ke
smallholders, bukan korporasi. Hal ini berpotensi mengakibatkan eskalasi konflik antara
masyarakat dengan negara secara drastis.”
ICEL, Senarai, Jikalahari, dan WALHI Riau
Narahubung:
Indonesian Center for Environmental Law (081382777068)
WALHI Riau (082288245828)
Made Ali (081275311009)
Okto Yugo Setiyo (085374856435)