Memutus Konflik Ekologis di Tanah Melayu : Sebuah Tawaran Kepada Rezim Baru 

Catatan Diskusi
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau 
 

Pekanbaru, 3 Februari 2025—WALHI Riau meluncurkan publikasi tahunan Tinjauan Lingkungan Hidup (TLH) berjudul “Memutus Konflik Ekologis di Tanah Melayu: Sebuah Tawaran Kepada Rezim Baru.” Publikasi ini memuat refleksi dan analisis atas dinamika politik, sosial, dan lingkungan yang terjadi di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Secara umum, situasi yang dipotret tepat pasca Pemilu 2024.  

Bertempat di Rumah Gerakan Rakyat WALHI Riau, hadir sebagai narasumber Even Sembiring, Direktut WALHI Riau, Sri Depi, Staf Multi Media WALHI Riau, Ahlul Fadli, Manager Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALHI Riau, dan Resika Siboro, Kepala Bidang Advokasi YLBHI-LBH Pekanbaru. Kegiata ini dipandu Dina Reski Putri sebagai moderator. Dan peserta yang hadir berasal dari lembaga anggota WALHI Riau, komunitas, lembaga mahasiswa, dan masyarakat secara umum. Berikut ringkasan paparan masing-masing narasumber: 

  1. Even Sembiring, Direktur WALHI Riau 

Even sampaikan buruknya sistem elektoral yang berlangsung selama 2024 dicederai dengan peristiwa putusan inkonstitusional. Hal ini ditengarai publik melanggengkan politik dinasti, nepotisme, dan pelanggaran etik. Praktek ini juga menyebar di daerah dalam proses Pilkada. Selain politik uang, penyalahgunaan wewenang oleh penguasa juga kental terjadi dalam penentua calon kepala daerah.  Adanya politik kekuasaan dengan sokongan modal, merupakan indikasi utama yang melahirkan individu anggota DPR yang terafiliasi dengan bisnis. Dalam kata lain, parlemen kita masih dikuasai politisi yang juga pebisnis, suatu kondisi yang menggambarkan kuasa oligarki. 

Sejalan dengan hal tersebut, pada kontestasi politik di Provinsi Riau, Even menyampaikan bagaimana gubernur terpilih Provinsi Riau Abdul Wahid-S.F Harianto, masih mengusung cara ekonomi kapitalistik dengan jargon ekonomi hijau dan biru. Kebijakan yang sama diusung oleh Prabowo dengan pertumbuhan ekonomi sebagai tolak ukur utama kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Riau, namun memolesnya dengan konsep ekonomi hijau dan biru.   

Konsep ini tidak relevan menjadi target utama mengejar kesejahteraan di Riau karena cara pikir  dan metode yang keliru.  Karena Green dan blue ekonomi sebenarnya masih mengejar pertumbuhan ekonomi dan menjadikan investasi sebagai andalannya. Yang berubah hanyalah komoditi dan teknologi saja. Tapi ekonomi ini tidak akan mengubah ownership dan tidak bicara soal keadilan. Ia mencontohkan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Restorasi Ekosistem (PBPH-RE) yang mulai menjamur di Riau. Namun siapa yang memperoleh keuntungan utama dari bisnis ini, siapa pemiliknya, tetap saja korporasi. 

Konsep ekonomi ditawarkan Abdul Wahid – SF Hariyanto masih menggunakan ekonomi kapitalistik, hal ini tentu berseberangan ustadz Abdul Somad (UAS) tokoh muslim yang sejak awal mendukung mereka. HOS Tjokroaminoto dalam bukunya berjudul Sosialisme Islam menyebutkan bahwa islam sendiri menentang adanya Ekonomi Kapitalistik, dengan beberapa alasan Ekonomi Kapitalistik berbau riba, mengeksploitasi kehidupan manusia dan tidak memuliakan apapun termasuk alam. Tiga hal itu tidak menyokong ekonomi islam. 

Sementara di sektor kehutanan, pemerintahan Abdul Wahid-SF Hariyanto terbatas dalam menggunakan kewenangan. Namun jika melihat visi misai yang disusun, selaras dengan apa yang dirumuskan secara nasional, besar kemungkinan hutan dan sumber daya alam Riau akan secara masif dikapling untuk kepentingan investasi sehingga memperparah derita masyarakat Riau. Untuk mencegah itu keduanya harus memprioritaskan kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup sebagai prioritas utama khuusnya kebijakan korektif memperkuat perlindungan adat di Provinsi Riau. 

Sedangkan situasi di Kepulauan Riau, masyarakat adat dan tempatan tetap menuntut pembatalan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City. Selain itu bergantinya Walikota dan Gubenur tidak mengubah situasi, bahkan penyerangan pada 18 Desember 2024 lalu masyarakat berhadapan dengan preman dan karyawa PT Makmur Elok Graha (MEG). Masyarakat mendapat kekerasan hingga patah tulang, ini membuktikan negara tidak memberikan rasa aman dan perlindungan terhadap masyarakat. Malah takluk oleh pemodal yang hendak merampas tanah dan ruang hidup masyarakat. 

Terbaru, ada 7 PSN yang mengancam eksistensi masyarakat adat dan lokal di Kepulauan Riau. Salah satunya PSN Tanjung Sauh. PSN ini digarap oleh Perusahaan lokal nasional berbasis di Pulau Batam, bernama Panbil Group. Proyek yang digerakkan serupa dengan cara kerja awal PSN Rempang Eco-City: mengambil alih tanah masyarakat adat dan memindahkan mereka ke pulau lain. Salah satu pemberitaan menggambarkan Suku Laut Kampung Air Mas seakan pasrah ketika pemerintah dan investor meminta meninggalkan tempat tinggal di Pesisir Pulau Tanjung Sauh, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau. Proyek ini setidaknya, akan menggusur tiga kampung, yakni Selat Desa, Tanjung Sauh, dan Kampung Air Mas. 

Kondisi ini tidak membuat WALHI Riau mundur dalam mendukung masyarakat di Kepulauan Riau dalam menuntut keadilan, selama masyarakay tetap bertahan atas tanah dan identitas adatnya. 

  1. Sri Depi, Staf Multi Media WALHI Riau  

Berdasarkan pemantauan KLHK pada tahun 2022 menunjukan bahwa sisa hutan alam di Indonesia seluas ±96 juta hektare dan ditahun yang sama tutupan hutan di Riau seluas ±73 ribu hektare atau setara dengan 0.8 % wilayah daratannya dengan rata-rata laju deforestasi tahunan seluas ±21 ribu hektare.  

Selain hutan, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Riau mengalami pergeseran fungsi. Mulai dari praktek penebagangn, alih fungsi lahan dan pencemaran akibat tambak udang. Tercatat 482 km kawasan pesisir Riau mengalami dampak abrasi akibat rusaknya ekosistem mangrove. Daya rusak ini akibat tata kelola perizinan buruk sehingga terjadinya bencana ekologis dan konflik di beberapa daerah. 

Kabupaten Pelalawan dengan alih fungsi gambutnya menjadi kebun kelapa sawit yang memicu kerusakan gambut. Hal ini terjadi di Pulau Mendol yang hampir seluruh kawasannya merupakan kawasan gambut. Bayangan ekspansi perkebunan kelapa sawit milik PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM) masih menghantui masyarakat yang saat ini masih berjuang merebut kembali legalitas atas tanah. Jika masih dibebani oleh perkebunan kelapa sawit, hal ini menambah beban berlapis dan mengancam hilangnya ruang penghidupan perempuan yang mayoritas bekerja sebagai petani dan berkebun. 

Aktivitas tambang masih mengganggu nelayan Pulau Rupat Utara, Bengkalis dan masyarakat Desa Batu Ampar, Indragiri Hilir. Setelah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Logo Mas Utama dicabut, masyarakat mendorong penetapan Kawasan Konservasi di perairan bagian utara sebagai upaya melindungi ekosistem dan wilayah tangkap nelaya  tradisional. Sedangkan masyarakat Desa Batu Ampar, masih menuntut ganti rugi kerusakan rumah akibat aktivitas blasting PT Bara Prima Pratama (BPP). PT BPP juga mencemari air yang menjadi sumber penghidupan masyarakat. 

 
3. Ahlul Fadli, Manager Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim 

WALHI Riau kiritik soal kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG), pasalnya ada pemaksaan sumber pangan dari luar bukan bersumber dari lokal. Kita tahu bahwa sumber pangan yang ada di tanah air itu sangat berlimpah, tapi tidak dilirik sebagai sumber pangan utama. Melihat dari Merauke, 2 Juta Hektare lahan dikonversi menjadi pertanian yang menyebabkan kondisi makanan lokal saat itu menjadi terpinggirkan. Padahal masyarakat Papua yang saat ini bisa hidup akibat dengan adanya makanan lokal mereka.  

Kebijakan MBG menyedot anggran 71 triliun per tahun. Besarnya anggaran untuk program makan bergizi gratis sebenarnya kurang tepat sasaran dan tidak mendukung ketahanan pangan lokal yang berbasis kearifan lokal. Selain itu, tujuan program untuk meningkatkan IQ dan mencegah stunting juga dinilai tidak tepat secara konseptual. Pencegahan stunting seharusnya difokuskan pada periode kritis 1.000 hari pertama kehidupan, mulai dari masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun. Padahal, akar permasalahan stunting di Indonesia disebabkan oleh faktor kemiskinan struktural dan ketimpangan ekonomi yang kemudian membatasi kemampuan keluarga untuk menyediakan makanan bergizi dan akses kesehatan yang memadai.  

Oleh karena itu, program MBG sebagai solusi semu terhadap masalah stunting, karena tidak menyentuh akar permasalahan tersebut. Selain itu, belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi landasan hukum untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan program MBG di tingkat daerah.  

Permasalahan Program MBG tidak hanya terletak pada sulitnya pelaksanaan secara layak, tetapi juga berpotensi merusak lingkungan hidup dan ketahanan pangan lokal. Kebutuhan anggaran besar untuk program ini dapat mendorong pemerintah mempercepat eksploitasi sumber daya alam sebagai sumber pemasukan negara alih-alih memperkuat akses masyarakat terhadap kedaulatan pangan lokal yang gizinya lebih jelas terjamin. 

Ahlul juga menyebutkan, permasalahan sampah justru makin kompleks dengan adanya program MBG ini. Absennya regulasi terkait wadah dan alat makan dalam program MBG berpotensi meningkatkan timbulan sisa makanan dan sampah plastik. Dalam. Plastik sekali pakai tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga berisiko mengontaminasi makanan dengan partikel mikroplastik. Potensi tambahan food waste dan sampah plastik dari program MBG akan memperburuk situasi ini, apalagi dengan ragam masalah pengelolaan sampah di Kota Pekanbaru yang tak kunjung menemukan titik terang.  

PT Ella Pratama Perkasa (EPP) selaku pihak ketiga yang memenangkan lelang kontrak pengelolaan sampah oleh Pemko Pekanbaru masih belum optimal menjalankan kewajibannya, terutama dalam pengangkutan sampah dari Tempat Pembuangan Sementara (TPS) ke Tempang Pengelolaan Akhir (TPA) yang menyebabkan masih banyak timbulan sampah di jalan. Fasilitas TPS dan TPA masih buruk, dengan TPS yang belum memenuhi prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) dan TPA yang masih menggunakan sistem open dumping alih-alih sanitary landfill. Hal ini menjadi ancaman lingkungan serius jika tidak segera ditangani, terlebih program MBG belum memiliki langkah mitigasi yang jelas dari DLHK 

  1. Resika Siboro “Penegakan HAM dan kriminalisasi Riau dan kepri” 

LBH Pekanbaru menemukan anti kritik masih melekat di ranah pemerintahan. Sehingga dalam penyampaian aspirasi sering kali terjadi pelaporan pencemaran nama baik. Saat Syamsuar masih menjabar Gubernur Riau ia melaporkan aksi yang memajang foto yang bersifat kritik kepada Polda Riau. jika kritik dibungkam akan memperlebar kekerasan dan kriminalisasi kepada masyarakat yang menuntut keadilan. 

Berkaca dari kasus penggusuran Rempang, bahwa penggusuran paksa adalah perlakuan tidak manusiawi dan perlakuan merendahkan martabat seseorang. Kejadian-kejadian kriminalisasi terhadap pembela HAM lingkungan terus terjadi, aparat penegak hukum harusnya melindungi masyarakat dari gugatan hukum yang tidak adil dan menerapkan kebijakan anti-SLAAP sesuai Pasal 66 UU lingkungan hidup dan Permen LHK Nomor 10 tahun 2024 tentang perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup. Menurut Resika, kriminalisasi adalah bentuk pelemahan perjuangan dan partisipasi publik dan ini adalah tindakan pembalasan terhadap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup. 

Diskusi lengkapnya dapat dilihat di Youtube WALHI Riau

What's your reaction?
0Cool0Upset0Love0Lol

Add Comment

to top