Pekanbaru, 15 Januari 2025–WALHI Riau mengadakan nonton bareng sekaligus diskusi film REMPANG. Bertempat di Rumah Gerakan Rakyat WALHI Riau, kegiatan ini diadakan secara hybrid dan penayangan perdana melalui kanal YouTube WALHI Riau. Kegiatan ini dihadiri enam penanggap secara daring dan luring, mereka adalah Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Wira Tri Ananda Manalu, YLBHI-LBH Pekanbaru, Masyarakat Pulau Rempang, Nofita Putri Manik dan Sopandi, Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang. Peserta yang hadir berasal dari organisasi anggota dan lembaga jaringan, kelompok mahasiswa, media, berbagai organisasi masyarakat sipil, serta kalangan masyarakat umum. 

Muhammad Ade Putra selaku MC membuka acara, diawali pengantar Eko Yunanda selaku produser dan sutradara film REMPANG, dilanjutkan sambutan oleh Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif WALHI Riau dan Hj. Azlaini Agus, Tokoh Masyarakat Riau. 

Eko Yunanda, jelaskan film ini dibagi dalam tiga cerita, pertama, sejarah Pulau Rempang; kedua, riwayat perampasan tanah masyarakat sejak 2004, sebelum adanya Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City; dan ketiga, cerita perjuangan masyarakat menghadapi teror, intimidasi dan kekerasan dalam mempertahankan hak atas tanah.  

Dalam sambutannya, Even Sembiring sampaikan terima kasih pada semua pihak yang telah mendukung proses produksi film ini dan bisa dinikmati oleh publik. Even menekankan bahwa film REMPANG merupakan pesan kuat untuk publik, pemerintah, dan masyarakat internasional, agar isu Pulau Rempang tetap menjadi perhatian. “Film ini adalah bagian dari perjuangan lebih besar untuk mengoreksi kebijakan yang keliru terkait proyek-proyek negara melalui PSN yang berpihak pada investor dan mengorbankan masyarakat lokal,” sebut Even. 

Hal senada juga disampaikan Hj. Azlaini Agus, ia menekankan bahwa mempertahankan tanah adalah mempertahankan kehidupan, dan menegaskan pentingnya menjaga hak-hak masyarakat adat dalam setiap proses pembangunan. Ia juga mengungkapkan keprihatinannya atas pergeseran makna pembangunan yang kini lebih berpihak pada investasi daripada pada kesejahteraan masyarakat lokal. 

Setelah pengantar dan sambutan, dilanjutkan penayangan film REMPANG serta pemaparan dari penanggap yang di moderatori oleh Kunni Masrohanti, berikut ringkasannya: 

  1. Usman Hamid-Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia 

Usman menekankan bahwa peristiwa pada 7 September 2023 seharusnya tak terjadi, dari awal sudah ada penolakan relokasi melalui aksi unjuk rasa depan kantor BP Batam, namun hal  itu diabaikan oleh pemerintah. “Seharusnya unjuk rasa masyarakat ini sudah jelas menyatakan bahwa masyarakat tidak sepakat dan menolak untuk direlokasi,” ungkap Usman. Ia menyesalkan tindakan aparat yang menggunakan kekuatan berlebihan dalam merespons perlawanan masyarakat, yang hanya menginginkan keadilan dan hak atas tanah mereka. 

Dari peristiwa itu ia mulai menyusun lirik dan nada hingga terciptanya lagu Rempang. Awalnya karya ini beraliran blues berubah menjadi rock yang cadas, karena seiring perubahan kasus kekerasan yang dialami masyarakat. “Saya jadi marah, akhirnya lagu itu beraliran rock yang terdengar semangat,” ujarnya. Pada lirik, “Rempang Galang.. Terus lawan!” menyampaikan seruan solidaritas dan perlawanan terhadap ketidakadilan yang dihadapi oleh masyarakat. Sedangkan lirik “Rempang sedang menggalang kekuatan” menjadi simbol perlawanan terhadap kebijakan yang merugikan masyarakat. 

Usman mengkritik tindakan pemerintah yang tidak memperhatikan hak-hak masyarakat Rempang, serta meremehkan masalah ini, sebagaimana terlihat dalam film REMPANG. Ia menyebutkan bagaimana pejabat pemerintah tampak tersenyum di tengah penderitaan rakyat, seolah-olah tidak ada masalah. Selain itu, Usman menyayangkan klaim pemerintah yang tidak faktual terkait amdal dan relokasi, serta menilai bahwa solusi yang ditawarkan pemerintah untuk merelokasi masyarakat tanpa partisipasi masyarakat itu sendiri hanya mengabaikan hak-hak rakyat. 

Usman menekankan bahwa meskipun terdapat pihak-pihak yang memberikan stigma kalau masyarakat Rempang mungkin tidak mengerti sepenuhnya soal hukum, mereka sangat memahami makna keadilan. “Hukum tanpa keadilan, percuma saja dan menjadi tidak berguna. Hukum tanpa keadilan tidak perlu diindahkan dan harus dilawan,” tegasnya. Menurutnya, tidak adil rasanya ketika masyarakat adat dipisahkan dari tanah dan alam yang selama ini menjadi sumber penghidupannya. 

  1. Sopandi-Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang 

Ia menyoroti putusan hukum yang dijatuhkan kepada masyarakat Rempang. Menurutnya, putusan tersebut sarat kekeliruan dan tidak mencerminkan rasa keadilan. Selama proses persidangan, tak ada satu pun bukti dari penuntut yang menyebutkan masyarakat benar-benar melakukan dugaan tindak pidana yang ditujukan kepada mereka. Selain itu tim advokasi masih terus berupaya melaporkan dugaan pelanggaran etika profesi hakim kepada Komisi Yudisial (KY) Penghubung Riau. “Laporan kita ke KY sudah di proses, mereka juga bertemu dengan pelapor dan tim advokasi di Batam,” ungkap Sopandi. 

Sopandi menyesalkan terjadinya bentrok pada 18 Desember 2024 lalu. Selain itu terdapat kesenjangan dalam proses pelaporan, Polresta Barelang lebih condong cepat merespon laporan dari pihak PT Makmur Elok Graha (MEG). “Dari PT MEG hanya dua orang saja yang ditetapkan sebagai tersangka, tapi dari yang kami baca, akan ada lebih banyak masyarakat yang dijadikan tersangka. Ini menunjukkan pemerintah tidak belajar dari kejadian 7 dan 11 September lalu,” Tegasnya. 

Sopandi meminta Presiden mengambil langkah cepat terkait kasus Rempang dengan mengoreksi kebijakan PSN Rempang Eco-City dan mencari solusi-solusi terbaik yang bersifat partisipatif melibatkan seluruh masyarakat Rempang, agar ke depannya tidak terjadi lagi kekerasan dan perampasan ruang hidup masyarakat. 

  1. Nofita Putri Manik-Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang 

Merespon kejadian di Rempang saat ini, Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang sudah melaporkan kejadian penyerangan yang dilakukan oleh pekerja PT MEG terhadap masyarakat Rempang pada 18 Desember 2024 lalu. Ia sampaikan hambatan yang dihadapi dalam proses pendampingan hukum terhadap masyarakat. “Hambatan terbesar adalah ketakutan dan trauma yang dirasakan masyarakat setelah kejadian itu, terutama ketika dipanggil oleh kepolisian,” ujar Nofita.  

Dalam laporan kali ini jumlah saksi yang dipanggil cukup banyak, namun sebagian besar masyarakat merasa enggan hadir karena masih trauma dan ketakutan. “Keterbatasan kami dalam mendampingi juga menjadi kendala dan jarak antara Rempang dan kantor polisi yang memakan waktu hingga 1-1,5 jam.”. Selain itu, rangkaian peristiwa bertepatan dengan Natal dan Tahun Baru membuat proses ini terkendala. 

Nofita juga menyoroti ketidakadilan dalam penanganan kasus tersebut. “Yang membuat kami miris adalah pihak kepolisian baru menetapkan dua tersangka dari PT MEG, padahal dalam kejadian itu ada tiga posko yang dirusak, delapan korban, dan sejumlah kendaraan warga yang dirusak,” tegas Nofita. Padahal informasi masyarakat pihak PT MEG saat itu ada 30 orang dalam insiden tersebut, tapi hanya dua tersangka yang ditetapkan. 

  1. Wira Tri Ananda Manalu-YLBHI-LBH Pekanbaru 

YLBHI-LBH Pekanbaru sejak pasca peristiwa 7 dan 11 September 2023 telah melakukan pendampingan dan advokasi di Pulau Rempang. Peristiwa itu sangat membekas apalagi saat itu kondisi mencekam dengan kehadiran aparat kemananan yang mendirikan posko-posko di tiap kampung tua. “Pasukan bersenjata berkeliaran dan berpatroli, menciptakan ketakutan serta intimidasi, terutama bagi perempuan dan anak-anak,” kata Wira. Aparat kemananan juga mendatangi rumah-rumah warga untuk memaksa warga segera pindah dari kampung mereka. 

Menurut Wira, modal utama masyarakat dalam menolak relokasi adalah identitas mereka sebagai penduduk asli yang telah tinggal secara turun-temurun di Pulau Rempang. “Masyarakat ini bukan warga liar seperti yang diklaim oleh BP Batam. Berdasarkan catatan Kesultanan Riau-Lingga, mereka telah menetap sejak tahun 1784 atau 1834,” tegasnya. Bagi masyarakat Melayu, tanah merupakan bagian dari identitas dan harga diri. Keyakinan masyarakat mulai bertambah setelah bertahan hampir sertahun berjuangan mempertahankan kampung tua, selain itu masyarakat mulai aktif berjaga di posko-posko serta melakukan aksi. “Posko-posko ini menjadi tempat berkumpul dan berkomunikasi bagi warga agar mereka tidak lagi merasa takut dan terisolasi di kampungnya sendiri.”.  

  1. Saka, Miswadi, dan Siti Hawa–Masyarakat Pulau Rempang 

Menurut Saka, setelah peristiwa penyaniayaan terhadap masyarakat 18 Desember lalu, ia dan yang lainnya masih gelisah. Terlebih beberapa warga mulai di panggil atas laporan dari PT MEG. Begitu juga dengan Miswadi, belajar dari kejadian tersebut ia dan masyarakat lebih waspada terhadap ancaman yang muncul. “Karena perjuangan masih panjang, tenaga dan pikiran harus di rawat agar tidak melemah, jika tidak berdampak pada keselamatan kampung dan masyarakat,” ucap Miswadi.  

Siti Hawa dalam diskusi tersebut menyampaikan harapan masyarakat Pulau Rempang agar PSN Rempang Eco-City ini dicabut. “Orang PT MEG itu juga disuruh balik saja supaya kami tenang,” seru Siti Hawa.  

Film lengkap Rempang dapat diakses dilink berikut ini:

Narahubung:  
WALHI Riau (082288245828)  

What's your reaction?
0Cool0Upset0Love0Lol

Add Comment

to top