Beranda Pesisir Laut Pengerukan dan Ekspor Pasir Laut Bukti Abainya Pemerintah Terhadap Wilayah Pesisir dan...

Pengerukan dan Ekspor Pasir Laut Bukti Abainya Pemerintah Terhadap Wilayah Pesisir dan Nelayan Tradisional 

628
0

Siaran Pers 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau 

Pekanbaru, 1 April 2024—WALHI Riau mengecam kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) soal penetapan lokasi penambangan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Melalui PP tersebut, KKP membuka pendaftaran bagi pengusaha untuk menambang pasir laut yang tersebar di laut Jawa, Selat Makassar, dan Natuna-Natuna Utara. WALHI Riau menilai kebijakan tersebut memperburuk dan mengancam ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan masyarakat di Pulau-Pulau dan Pesisir.  

Even Sembiring, Direktur WALHI Riau menuturkan, kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi di Laut hanya berorientasi bisnis semata yang akan memicu banyak dampak negatif dan merugikan banyak aspek kehidupan. “Negara hanya melihat sumber daya alam sebagai modal yang harus dikeruk tanpa mempertimbangkan akibatnya. Kebijakan ini justru akan melegalkan aktivitas tambang pasir dan membuka keran ekspor, bukan untuk menjaga kesehatan laut dan memastikan keamanan jalur pelayaran. Peraturan ini,” ujar Even Sembiring. 

Berdasarkan data dari ESDM Tahun 2023, ada tujuh perusahaan tambang pasir laut yang akan beroperasi di perairan Pulau Rupat dan Dumai. Tidak menutup kemungkinan akan ada tambahan perusahaan lain yang akan beroperasi diwilayah tersebut. Hal ini tentu akan membuat dampak buruk. Apa lagi perairan Rupat Utara baru saja terbebas dari perusahaan tambang pasir laut PT Logomas Utama (LMU), dengan dibukanya pendaftaran tersebut justru menimbulkan konflik baru nelayan dan perusahaan. 

Even juga mengingatkan, masuknya Kepulauan Riau meliputi perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan yang menjadi target penambangan pasir laut, akan menambah beban lingkungan diantara ancaman Program Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City yang akan menggusur 7.500 jiwa masyarakat dari 16 kampung tua di Pulau Rempang. “Sampai saat ini masyarakat masih bertahan menolak relokasi, hal ini mereka lakukan untuk menjaga marwah mereka sebagai orang melayu yang menjaga kondisi alam sekitar dengan konteks budaya lokal untuk mencari penghidupan,” ujar Even Sembiring. 

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) abai dalam tugas dan fungsinya, karena eksploitasi pasir laut bertolak belakang dengan prinsip ekonomi biru yang digaungkan KKP untuk mengutamakan ekologi sebagai tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan. Selain itu Tim percepatan reformasi hukum, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengusulkan agar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dibatalkan, dalam dokumen Rekomendasi Agenda Prioritas Percepatan Reformasi Hukum, menyebutkan, salah satu langkah mendesak yang harus dilakukan pemerintah adalah membatalkan PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, karena membahayakan ekosistem laut dan kehidupan nelayan tradisional serta terbukti menyebabkan konflik dan memberikan dampak buruk terhadap Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup. 

Narahubung: WALHI Riau (082288245828) 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini