Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selalu terjadi setiap tahunnya. Situasi ini sekaligus menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah tidak pernah melakukan koreksi kebijakan atas pengelolaan sumber daya alam. Parahnya lagi, kebakaran besar hutan dan lahan sangat erat kaitannya dengan transisi politik. Baik satu tahun menjelang pilkada / pemilu, ataupun satu tahun setelah kontestasi politik berlangsung.
Pada 2015, ditemukan sebanyak 439 korporasi terlibat pembakaran di lima provinsi. 2019 juga terjadi hal yang sama. Data Januari hingga Juli 2019, tercatat 4.258 titik panas dan 2.087 titik api berada di Kawasan konsesi dan KHG (Kesatuan Hidrologis Gambut). Kini, 2023 per Juni terdapat 7857 titik api dan berdasarkan analisa WALHI sebanyak 2080 titik api berada di konsesi-konsesi korporasi. Angka tersebut kemungkinan besar terus meningkat, sebab BMKG memprediksi puncak karhutla akan terjadi Agustus hingga September.
Kutipan media
- Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional
“Pengurus negara ini tidak boleh terus membebani rakyat untuk mitigasi dan penanganan karhutla, hanya dengan melakukan modifikasi cuaca. Itu tidak menjawab akar persoalan karhutla yaitu lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap korporasi. Mendesak untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh perizinan di Indonesia dan memberikan sanksi kepada korporasi yang terbukti melakukan pelanggaran. Di tahun politik ini, agenda tersebut menemukan momentumnya untuk dilakukan oleh setiap orang atau parpol yang memiliki keinginan menjadi pengurus negara ini.” - Nikodemus Ale, WALHI Kalimantan Barat
“Peristiwa karhutla tahun 2015 yang berdampak luas bahkan ditetapkan menjadi bencana nasional menjadi moment penting bagi negara belajar untuk memberikan perhatian sampai penegakan hukum atas para pelaku pemegang hak konsesi. Dan segera mengambil langkah-langkah pemulihan untuk meminimalisir terulangnya persitiwa 2015. Salah satu Langkah yang kita dorong adalah segera melakukan evaluasi dan revisi perizinan yang berada di Kawasan gambut yang rentan terjadi karhutla.” - Janang Firman Palanungkai, WALHI Kalimantan Tengah
“Peristiwa kebakaran terparah di tahun 2015 dan 2019 seharusnya sudah bisa menjadi tamparan keras buat pemerintah untuk bisa mengevaluasi metode penanganan serta mitigasi bencana yang lebih membumi hingga ke titik persoalan paling pokok untuk mengukur faktor utama penyebab kebakaran itu sendiri. Apalagi banyaknya area kebakaran di tahun itu berada di wilayah konsesi dengan luasan yang sangat luas serta berada pada area gambut. Jangan sampai masyarakat yang jadi korban terutama masyarakat adat yang ada di Kalimantan Tengah yang kini banyak tidak bisa berladang karena aturan tidak boleh membakar lagi. Dampak larangan tersebut sudah membunuh sumber kedaulatan pangan masyarakat. Sedangkan banyak korporasi yang bahkan 2 kali menjadi tersangka sebagai pelaku kebakaran hutan dan lahan malah masih bisa beraktivitas hingga sekarang tanpa ada evaluasi perizinannya serta pencabutan ijinnya. Gugatan CLS di Kalimantan Tengah juga tidak menimbulkan kesadaran untuk evaluasi, yang ada Negara malah terkesan berusaha membela diri tanpa rasa bersalah. Jangan sampai pada tahun 2023 membuka sejarah buruk kembali peristiwa karhutla ini.” - Febrian Putra Sopah, WALHI Sumatera Selatan
“Melihat penanganan karhutla yang telah terjadi sepanjang 2015-2019 yang lalu dimana upaya penegakan hukum terhadap kasus karhutlah masih sangatlah lemah. Serta pemantauan dan pelaksanaan implementasi perbaikan di konsesi-konsesi ini tidaklah berjalan sebagaimana mestinya, Pada tahun 2023 ini dimana fenomena El Nino kemarau sangat kering akan terjadi di Sumatera Selatan yang akan berpotensi merampas kembali udara bersih masyarakat, sehingga publik mendesak negara untuk mencabut izin perusahaan apabila terjadi lagi karhutla!” - Abdullah, WALHI Jambi
Perlu adanya penanganan dan deteksi dini terhadap titik panas yang berpotensi menjadi kebakaran besar. edukasi penanganan dan deteksi dini tidak hanya dilakukan kepada masyarakat di desa, hal yang terutama harus dipantau secara ketat adalah izin perusahaan HTI dan perkebunan sawit yang beroperasi di dalam kawasan gambut. Pemerintah yang diberikan mandat oleh rakyat juga harus memberikan sanksi dan penegakan hukum yang tegas kepada perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran dalam kegiatan operasional dan berakibat kepada timbulnya kebakaran hutan dan lahan yang berulang. - Boy Jerry Even Sembiring, Eksekutif WALHI Riau
“El nino tahun ini harus dijadikan momentum melakukan evaluasi menyeluruh perizinan, agar negara tidak terus dibebani dengan anggaran yang besar. Pada semester ini saja , Riau mengalami karhutla seluas 830 hektar. Modifikasi cuaca efekti untuk mengurangi dampak karhutlah tetapi tidak untuk penanganan akar persoalan karhutla.”
Baca brief selengkapnya di bawah ini
Briefing_Papepr E_Elnino dan ancaman api dari konsesi 2023