Beranda Siaran Pers WALHI Desak Kementerian ATR/ BPN Redistribusi Tanah di 24 Lokasi Konflik Agraria!

WALHI Desak Kementerian ATR/ BPN Redistribusi Tanah di 24 Lokasi Konflik Agraria!

245
0

Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Jakarta, 12 September 2022— Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melaporkan 27 (dua puluh tujuh) lokasi konflik agraria yang tersebar di 12 (dua belas) provinsi yaitu Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua. Pelaporan ini dilangsungkan dalam pertemuan WALHI dengan Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada Senin, 12 September 2022. Dalam pertemuan ini, hadir beberapa unsur Direktorat Jenderal Kementerian ATR/ BPN, masyarakat Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi dan beberapa perwakilan eksekutif daerah WALHI (Riau, Jambi dan NTT).

Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Kampanye Anti Industri Ekstraktif WALHI menyebut beberapa konflik agraria yang dilaporkan kepada Wakil Menteri ATR/ Wakil Kepala BPN merupakan konflik yang sudah pernah dilaporkan WALHI kepada Kementerian ATR/ BPN.

Pergantian kepemimpinan di kementerian ATR/BPN di level Menteri dan Wakil Menteri mampu menghilangkan sumbatan,memangkas birokrasi dan menjadi kementerian yang terbuka karena ini merupakan syarat penting untuk mempercepat penyelesaian Konflik Agraria dan capaian program TORA di Indonesia.

“ Menteri ATR/BPN harus segera menyelesaikan mandat Presiden untuk merealisasikan Program TORA khususnya redistribusi tanah kepada rakyat sehingga target 4.5 juta Hektar lahan untuk rakyat dapat segera tercapai sebelum selesainya periode presiden Jokowi di 2024,” sebut Hadi Jatmiko.

Abdullah, Direktur WALHI Jambi yang hadir bersama masyarakat Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi Kabupaten Batanghari dalam pertemuan ini menjelaskan persoalan konflik agraria yang terjadi di Jambi terkait dengan mafia tanah. Pencadangan hingga sertifikasi hak atas tanah warga transmigran acap kali diserobot para mafia tanah.

“Konflik di Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi Kabupaten Batanghari awalnya takut disuarakan warga karena adanya gangguan preman. Belakangan, persoalan premanisme berhasil diselesaikan, namun belum mampu menyelesaikan persoalan pokok konflik agraria antara masyarakat dan mafia tanah” sebut Abdullah.

Kedatangan masyarakat dua desa tersebut bukan merupakan kedatangan pertama ke Kementerian ATR/ BPN. Warga berharap kunjungan kali ini membuat Kementerian ATR/BPN memprioritaskan penyelesaian konflik agraria di desa mereka.

Dalam pertemuan ini, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur WALHI Nusa Tenggara Timur menyebut terdapat tiga model konflik agraria di NTT. Ia memulainya dengan mengingatkan beberapa konflik agraria yang sudah pernah dilaporkan masyarakat bersama WALHI NTT kepada Kementerian ATR/ BPN.

“Di NTT paling tidak terdapat tiga model konflik agraria. Pertama, konflik di sektor pariwisata. Konflik agraria di sektor ini telah merenggut nyawa Poroduka. Tembakan polisi mengakibatkan kematian Poroduka. Peristiwa ini terjadi di pesisir pantai Marosi, Sumba Barat karena konflik agraria antara masyarakat adat dan PT Sutra Marosi Kharisma. Tanah Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan ini seharusnya sudah ditetapkan sebagai tanah terlantar. Kedua, konflik di sektor infrastruktur. Konflik terakhir yang kami soroti terkait rencana pembangunan Waduk Lambo. Masyarakat menolak proyek pembangunan waduk di atas tanah mereka. Ketiga, konflik di sektor perkebunan monokultur. Salah satunya, pembangunan perkebunan tebu PT Muria Sumba Manis seluas 52 ribu hektar yang ditujukan memenuhi ambisi menjadi pabrik gula terbesar di Indonesia timur. Masyarakat menolak pembangunan kebun dan pabrik milik Grup Djarum dan Wings karena berada di atas tanah adat. Secara umum, konflik agraria di NTT tidak dapat lepas dari konflik antara korporasi dan masyarakat adat,” jelas Umbu Wulang.

Boy Even Sembiring, Direktur WALHI Riau menyampaikan konflik agraria di Riau tidak dapat lepas dari laju ekspansi perkebunan kelapa sawit. Dalam kesempatan ini, WALHI Riau melaporkan 5 (lima) konflik agraria antara masyarakat dan korporasi perkebunan kelapa sawit.

“Konflik pertama terkait tumpang tindih hak atas tanah antara tiga kampung Kabupaten Siak dan satu desa di Kabupaten Bengkalis dengan PT Teguh Karsa Wana Lestari (TKWL). Keempat desa, menuntut legalisasi aset melalui skema sertifikasi tanah transmigrasi seluas ±2400 hektar. Kedua, konflik agraria terkait HGU tidak aktif di Pulau Mendol Kabupaten Pelalawan. Selain itu, izin usaha perkebunan PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM) yang berkonflik dengan masyarakat sudah dicabut Bupati Pelalawan pada 2018. HGU ini berada di atas pulau kecil ekosistem gambut yang luasnya hanya ±31.289 hektar. Ketiga, desakan kelanjutan redistribusi tanah di lokasi konflik antara PT WSSI dengan masyarakat di Kabupaten Siak. Akselerasi ini memastikan target redistribusi tanah seluas 1.602,7 hektar tercapai. Sejauh ini, redistribusi tanah sudah dilaksanakan di Desa Buatan I dan Buatan II seluas 1.080,8 hektar, tersisa 635,2 hektar areal kerja belum diredistribusi kepada masyarakat Desa Sri Gemilang dan Rantau Panjang. Kempat, legalisasi aset yang berpotensi menjadi konflik agraria di Desa Suka Damai, Tanjung Medang, Teluk Rhu, Tanjung Punak, dan Kadur, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis. Model legalisasi harus dilakukan di atas areal izin lokasi seluas 16.311 hektar PT Bina Rupat Sepang Lestari yang di atasnya telah dimanfaatkan fasilitas umum, perkantoran pemerintah, pemukiman warga dan kebun masyarakat. Kelima, penyelesaian konflik atas tanah seluas ±2.000 hektar di Desa Pungkat, Kabupaten Indragiri Hilir antara masyarakat dengan PT Setia Agrindo Lestari (SAL) yang terjadi sejak 2014,” sebut Even Sembiring.
Merespon laporan WALHI, Raja Juli Antoni, Wakil Menteri ATR/ Wakil Kepala BPN menyebut kementerian yang dipimpinnya akan memperbaiki terlebih dahulu dashboard perekaman data konflik agraria dan laporan masyarakat. Selain itu, Kementerian ATR/ BPN secara bertahap akan merespon dan menyelesaikan persoalan konflik agraria yang sudah terjadi sejak lampau.

“Saat ini, kami sedang melakukan audit HGU dengan catatan tidak ada hak rakyat yang dirugikan dan memastikan investasi harus memenuhi kewajiban pajaknya kepada negara. Berkaitan dengan laporan yang disampaikan WALHI, kami berharap data dan informasi lengkapnya segera disampaikan agar penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan cara kolaboratif antara kami dan WALHI, sehingga bermanfaat untuk Indonesia kita,” tutup Raja Juli.

Narahubung:
Fandi Rahman (085271603790)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini