Beranda Infografis Seminar Penegakan Hukum dan Pemulihan Lingkungan

Seminar Penegakan Hukum dan Pemulihan Lingkungan

309
0

Provinsi Riau memiliki daratan seluas 8.702.366 ha dimana dari 5.406.492 ha luasan kawasan hutan Provinsi Riau terdapat 151 unit pemanfaatan dengan luasan sebesar 1.904.637,92 ha, dimana pemanfaatan yang terbesar digunakan untuk hutan tanaman industri sebesar 45 unit seluas 1.512.138,92 ha dan paling sedikit digunakan untuk perhutanan sosial dalam bentuk hutan adat seluas 407,80 ha. Perizinan lain merujuk Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 Tentang Penetapan Luas Tutupan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2019, khusus Provinsi Riau mencapai 3.387.206 ha atau 20,68% dari luas perkebunan Kelapa Sawit yang ada di Indonesia. Perubahan lahan Riau yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan menjadi perkebunan skala besar dengan dominasi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri menyebabkan dari total 4.882.027 lahan gambut seluas 2,4 jt ha dalam kondisi kritis.

Temuan panitia khusus monitoring dan evaluasi perkebunan kelapa sawit menyatakan 1,8 juta ha perkebunan sawit Ilegal yang ada di kawasan hutan dan belum mendapatkan izin pelepasan dari KLHK 513 perusahaan perkebunan sawit menyalahi izin (Pansus DPRD Riau, 2016). Pada tahun 2020 Polda Riau sudah menangani 51 kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan luas lahan yang terbakar 242,1675 hektare. Dari kasus tersebut 51 pelaku pembakar masih didominasi perorangan dan satu perusahaan di Kabupaten Siak. Walhi Riau mencatat, pada 1 Januari hingga 1 April sebanyak 996,58 ha luas lahan yang terbakar di Provinsi Riau. 12  perusahaan yang wilayah HGU dan HTI terdapat titik panas, 55 titik panas wilayah gambut dengan kedalaman 5 – 400 cm serta 57 titik panas tersebar di 7 kabupaten dan kota pada 1 April hingga 12 Mei 2021.

Sepanjang 2014 sampai dengan 2020 tidak kurang dari 11 kasus kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau dimana terdakwanya diputus pidana penjara dan dari denda 1 sampai 18 Miliar di Provinsi Riau. Dari beberapa kasus tersebut diatas, sebagian besar diantaranya melakukan upaya hukum baik banding ke Pengadilan Tinggi, maupun kasasi ke Mahkamah Agung. Sampai dengan Agustus 2020, diketahui pembayaran denda atas putusan pengadilan baru dilakukan oleh PT Adei Plantation and Industry sebesar 15,1 Miliar, eksekusi ini dilakukan sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Pelalawan September 2014 lalu. Tercatat PT Adei Plantation and Industry telah melakukan tindak pidana Karhutla sampai dengan 2 kali (2014 dan 2020), ada dugaan pembayaran denda terhadap perkara 2014 dan dibayarkan 2020 terkait dengan perkara kebakaran hutan dan lahan yang mereka lakukan pada 2020 dimana diharapkan hakim dapat mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan putusan dalam konteks pertimbangan faktor non hukum sebagai bentuk tanggungjawab yang telah dilakukannya terhadap putusan denda untuk kasus Pidana sebelumnya. Selain putusan pemidanaan terhadap beberapa korporasi di atas, KLHK juga menggunakan hak gugat ganti rugi kerugian lingkungan hidup dan tindakan tertentu untuk pemulihan. Dua perusahaan yang digugat diantaranya mempunyai areal kerja di Riau, yaitu PT. Jatim Jaya Perkasa (kerugian lingkungan hidup sebesar 119.888.500.000 dan tindakan pemulihan lingkungan sebesar 371.137.000.000) dan PT. Nasional Sago Prima (kerugian lingkungan hidup 319.168.422.500 dan pemulihan lingkungan sebesar 753.745.500.000). Putusan perdata yang dijatuhkan terhadap dua korporasi ini tercatat sudah berkekuatan hukum mengikat.

Hingga saat ini belum dilakukannya eksekusi putusan dikarenakan belum jelasnya mekanisme dalam proses melakukan eksekusi terkait hasil putusan. Terbitnya Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja semakin mengabaikan keselamatan lingkungan. Beberapa pasal memperlemah upaya perlindungan lingkungan hidup, hilangnya partisipasi masyarakat, proses pengawasan yang tersentral, hilangnya pertanggungjawaban mutlak dalam perkara karhutla serta menghilangkan sanksi terhadap korporasi yang melakukan pelanggaran.

Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk seminar dengan paparan narasumber nasional dan tokoh masyarakat Riau yang difasilitasi oleh seorang moderator adapun peserta atau audiens adalah masyarakat,lembaga anggota WALHI Riau dan jaringan NGO Riau.

Narasumber pertama ialah Raynaldo G Sembiring Direktur Eksekutif dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) organisasi yang aktif mendorong pembaharuan hukum kebijakan lingkungan selain itu aktif mengkritisi kebijakan pemerintah yang abai terhadap nilai nilai tata kelola pembangunan berkelanjutan.

Narasumber kedua ialah Made Ali, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan RIau. Ia menjelaskan soal eksistensi Masyarakat adat yang selama ini tidak diakui keberadaannya menjadi korban dari pemanfaatan sumber daya alam yang eksploitatif dan meminggirkan kearifan lokal masyarakat asli.

Dan narasumber terakhir, Deskrimsus POLDA Riau KBP Ferry Irawan, S.I.K., bicara tentang penegakan hukum khususnya kejahatan lingkungan hidup di Provinsi Riau seperti, kebakaran hutan dan lahan, illegal logging, perburuan satwa dan konflik masyarakat dengan perusahaan.

Dokumentasi kegiatan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini