Pekanbaru, Kamis 20 September 2018 – Terhitung sejak 20 Agustus 2018, Widodo Eko Prihastopo menjabat sebagai Kapolda Riau. Bertempat di POLDA Riau, puluhan massa dari WALHI Riau dan mahasiswa menggelar aksi damai menagih penyelesaiaan kasus kebakaran hutan dan lahan serta melaporkan PT Sumatera Riang Lestari (SRL), PT Teguh Karsa Wana Lestari (TKWL) dan PT Nasional Sagu Prima (NSP). Aksi dan pelaporan tersebut didasarkan atas kata sambutan yang disampaikan oleh Kapolda baru bahwa kebakaran hutan dan lahan adalah kasus prioritas yang akan diselesaikannya. Hal ini tentu tidaklah mudah, mengingat kebakaran hutan dan lahan di Riau adalah perjalanan panjang akibat izin yang cenderung koruptif dan sengaja diundang melalui kebijakan perizinan. WALHI Riau mengingatkan agar dosa masa lalu terkait lambat dan tebang pilihnya penegakan kasus karhutla tidak terulang.
Kenyataan bahwa kebakaran hutan dan lahan menyebabkan bencana ekologi adalah fakta yang tidak terbantahkan. Sejak tahun 1998 Riau dikepung asap sebagai buah dari menjamurnya berbagai industri skala besar yang menggerogoti dan mengeruk sumber daya alam salah satu provinsi terkaya di Indonesia ini. Tercatat kabut asap pada tahun 2015 adalah kabut asap terparah sepanjang sejarah yang memakan korban jiwa. Meskipun demikian, kesewenang-wenangan penegak hukum ditunjukkan dengan lahirnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 15 korporasi yang berkontribusi terhadap kebakaran hutan dan lahan.
Sejalan dengan temuan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang menyebutkan bahwa setidaknya terdapat lebih dari 2.200 ha kebakaran sepanjang Januari-Juli 2018, WALHI Riau mencatat kebakaran juga masih terjadi di Kabupaten Siak dan Kabupaten Kepulauan Meranti. Kebakaran tersebut seluruhnya berada di areal korporasi, Blok V Estate Rangsang PT Sumatera Riang Lestari salah satunya. Perusahaan yang bergerak di sektor hutan tanaman industri tersebut memiliki sejaran panjang terkait perjalanan kebakaran hutan dan lahan, salah satunya adalah perusahaan yang mendapat “golden ticket“ berupa SP3 dari POLDA Riau yang pada akhirnya mengenyampingkan tanggungjawab atas kebakaran yang terjadi di areal konsesinya. Selanjutnya, PT SRL juga pernah diproses secara hukum oleh Polres Indragiri Hilir pada tahun 2015 dengan kejahatan yang sama yaitu kebakaran hutan dan lahan dengan nomor LP/105/IX/2015/Riau/ResInhil pada 19 September 2015 yang lalu dengan luasan terbakar sekitar 100 ha yang berlokasi di desa Harapan Jaya Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir. Sayangnya proses dan tindak lanjut kasusnya justru tidak mempunyai kejelasan sampai sekarang. Hal ini semakin memperkukuh bahwa korporasi penyebab kabut asap sulit dijamah oleh penegak hukum.
Ali Mahmuda, staf WALHI Riau yang merupakan Koordinator Lapangan aksi tersebut mengungkapkan bahwa penegakan hukum bagi korporasi pelaku kebakaran hutan dan lahan tidaklah sulit, mengingat kebakaran dapat dilihat dan meninggalkan bekas. Undang-Undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah salah satu regulasi yang pada hakikatnya mempermudah proses penegakan hukum dengan mewajibkan perusahaan menjaga areal konsesinya dari kebakaran. Hal tersebut menjadikan bahwa kewajiban menjaga adalah kewajiban mutlak bagi pemegang izin konsesi. “Hari ini kami juga membawa berkas untuk melaporkan tiga perusahaan yang berada di Kabupaten Siak dan Kabupaten Kepulauan Meranti yang berdasarkan temuan lapangan WALHI Riau telah terjadi kebakaran di areal konsesinya. Pelaporan ini sekaligus mendorong penegakan hukum bagi kejahatan lingkungan hidup terkait kebakaran hutan dan lahan sesuai janji Kapolda Riau yang baru, Widodo Eko Prihastopo” tutup Ali.
******
Narahubung:
Ali Mahmuda 085376759596
Devi Indriani 082285356253