Paska dimenangkannya banding yang di ajukan oleh PT Nasional Sagu Prima (NSP) di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada September 2017 lalu, kenyataannya terus terjadi kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perusahaan yang mengantongi izin konsesi seluas ±21.620 tersebut. Putusan banding yang hakimnya diketuai oleh Abid Saleh Mendrofa menyebutkan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam amar putusannya, yang mana putusan tersebut memenangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan menyatakan bahwa perbuatan PT NSP yang menyebabkan pencemaran dan/ atau kerusakaan hutan akibat lalainya tergugat mengantisipasi kerusakan hutan adalah merupakan perbuatan melawan hukum dan menghukum PT NSP untuk membayar biaya ganti rugi kerusakan lingkungan hidup atas kerusakan ekologis dengan total keseluruhan mencapai 1 triliun.
WALHI Riau mencatat sepanjang 2018, setidaknya terdapat 13 hot spot dengan confidence lebih dari 70% di areal PT NSP. Bahkan berdasarkan pantauan dan hasil analisis WALHI Riau pada 08 Maret 2018, terlihat bekas kebakaran di tiga blok besar dan tiga blok kecil dengan total luasan sekitar 250 ha. Hal ini semakin mengukuhkan tidak ada perbaikan dari anak perusahaan PT Sampoerna Agro Tbk tersebut terhadap kejahatan masa lalunya. Berbagai aktivitas dan pengingkaran terhadap aturan yang ada dilakukan PT NSP dimulai dengan ketiadaan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) nya. Kenyataannya PT NSP menggunakan AMDAL hak pengusahaan hutan tanaman industri murni sagu milik atas nama PT National Timber and Forest Product (NTFP) yang disetujui dan disahkan oleh Komisi Pusat Amdal Departemen Kehutanan dan Perkebunan tertanggal 31 Agustus 1999 dan PT NSP tidak melakukan revisi Amdal sehingga sesungguhnya PT NSP tidak memiliki amdal. Proses penyusunan amdal sendiri berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengharuskan pelibatan masyarakat dengan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. Dengan demikian, PT NSP belum menyusun Amdal terbaru dan masih menggunakan Amdal milik PT NTFP yang notabene tidak diketahui oleh masyarakat, sehingga masyarakat memeperoleh informasi yang tidak benar dan hal ini melanggar ketentuan Pasal 69 UU PPLH.
Tidak hanya administratif, kebakaran yang terjadi dalam periode Januari hingga Maret 2014 menjadi tidak terkendali karena hampir tidak adanya sarana dan prasaran pencegahan dan penanggulangan yang dimiliki PT NSP baik itu early warning system, early detection system, sistem komunikasi, peralatan pemadam dan personil pemadaman yang tidak cukup untuk melakukan pemadaman. Hal ini menunjukkan perusahaan ini tidak mematuhi dan memenuhi ketentuan UU PPLH, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001, Peraturan Kementerian Kehutanan Nomor 12 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Atas ini pulalah PT NSP dihukum dengan mewajibkan membayar denda sebesar 2 miliar atas Kebakaran Hutan dan Lahan pada 2014 lalu oleh Pengadilan Negeri Bengkalis, namun sayangnya petinggi perusahaan tersebut dibebaskan oleh pengadilan negeri yang sama.
Setelah di kabulkannya upaya hukum banding oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, menambah rentetan catatan buruk penegakan hukum di sektor lingkungan hidup Ali Mahmuda mengungkapkan bahwa mafia peradilan bagi penegakan hukum lingkungan hidup bukan lagi sebatas isapan jempol belaka. “Rakyat bisa melihat, bagaimana Penghentian Penyidikan yang dilakukan oleh POLDA Riau terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup dan tidak tersentuhnya petinggi perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pengerusakan gambut di Riau. Pertanggungjawaban mutlak pun seolah tidak dipahami oleh seluruh penegak hukum dalam menindak kejahatan lingkungan hidup” ujar Ali. Staf WALHI Riau ini juga memaparkan lambatnya penindakan terhadap pelanggaran dan kejahatan lingkungan hidup oleh aparat kepolisian. “Bahkan pada bulan Oktober 2017, WALHI Riau telah melaporkan empat perusahaan yang diduga keras merusak gambut di Kabupaten Indragiri Hilir ke POLDA Riau, namun terhitung enam bulan sejak dilaporkannya, belum ada titik cerah akan di tindaklanjuti.POLDA Riau seperti macan tak bergigi jika dihadapkan dengan kejahatan korporasi” tutupnya.
*****
Narahubung:
Fandi Rahman : 085271603790
Ali Mahmuda : 085376759596